RESOLUSI KONFLIK AGRARIA
(STUDI PADA KONFLIK MASYARAKAT SUKU ANAK DALAM DAN PT ASIATIC PERSADA)
PAPER
Untuk Memenuhi Tugas Pengantar Ilmu Sosiologi
Oleh
Dimas Baskoro
140910201042
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia adalah negara yang beriklim tropis, semua yang
ditanam disini dapat tumbuh dengan suburnya. Tanah kita subur. Sawah, hutan, gunung, lembah dan juga lautan terhampar menakjubkan. Dunia
memandang kita sebagai zamrud khatulistiwa, hamparan tanah hijau yang
membentang menjadi pembuktian nyata. 8,10 juta hektar bentangan sawah kita,[1] 162 juta hektar daratan tertutupi oleh hijaunya pepohonan
hutan.[2] gunung, lembah dan lautan membentengi seluruh
simpanannya. bayangkan bila seluruh kekayaan itu dapat dikelola dengan baik,
bayangkan bila setidaknya kelebihan kita di sektor agraria ini dapat kita
maksimalkan. Mungin bila kita dapat mengandaikan, negeri ini akan menjadi
sesosok raksasa hijau yang ditakuti. Namun demikian, kenyataan bertolak
belakang dengan pengandaiannya, berbagai konflik menggerogoti khayalan kita
tersebut. Musim yang kian sukar diprediksi, hama yang susah diatasi, barang-barang
impor yang masuk tak terkendali, hingga konflik sengketa lahan yang tak kunjung
usai menjadi persoalan yang makin menambah peliknya kondisi agrarian kita.
Konflik sengketa lahan merupakan salah satu dari
permasalahan di sektor agraria yang sukar untuk diselesaikan. Hal ini
dikarenakan perbedaan kepentingan dari masing-masing pihak yang bertikai dan
kengototan untuk mempertahankan pendiriannya masing-masing. Konflik agraria ini
juga disebabkan oleh lemahnya regulasi pemerintah, pengaturan tata ruang yang tak kunjung tuntas, serta
lemahnya penegakan hukum dan HAM.
Sulit dipungkiri bahwa kondisi agraria Indonesia yang mengemuka
selama ini adalah konflik agraria yang semakin mengeras. Tragedi berdarah
akibat konflik agraria yang berdimensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
datang silih berganti. Sebagian yang menjadi korban adalah komunitas masyarakat
adat, dan kaum tani, tidak sedikit pula kaum miskin di perkotaan jadi
bulan-bulanan penggusuran. Suku Anak Dalam adalah salah satu korban dari
konflik agraria yang berdimensi hak asasi manusia. Konflik antara masyarakat
adat Suku Anak Dalam dengan PT Asiatic Persada ini, telah mengakibatkan
jatuhnya korban luka dan tewas. Selain itu, konflik ini juga menyebabkan
ratusan rumah Suku Anak Dalam tergusur dan mengakibatkan ribuan Suku Anak Dalam
dilarikan ke pengungsian.[3]
Penyelesaian Konflik antara masyarakat adat Suku Anak Dalam dengan PT Asiatic
Persada ini mendesak untuk dilakukan. Mengingat telah meluasnya dampak yang
diakibatkannya dan jatuhnya korban serta kerugian meteriil terutama dari pihak
masyarakat adat Suku Anak Dalam.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis sebab-sebab terjadinya konflik agraria antara masyarakat
adat Suku Anak Dalam dengan PT Asiatic Persada. Dampak-dampak yang ditimbulkan
oleh konflik tersebut dan bagaimana proses akomodasi yang telah berlangsung
selama ini serta bagaimana sebenarnya akomodasi yang tepat guna mengatasi
konflik tersebut.
1.2
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang muncul
dalam kajian ini antara lain ;
a.
Bagaimana proses terjadinya konflik agraria antara masyarakat
adat Suku Anak Dalam dengan PT Asiatic Persada beserta sebab-sebab yang
menyertainya?
b.
Bagaimana upaya akomodasi selama ini sebagai bentuk penyelesaian konflik
agraria antara masyarakat adat Suku Anak Dalam dengan PT Asiatic Persada?
c.
Apa akomodasi yang tepat untuk
mengatasi konflik agraria
antara masyarakat adat
Suku Anak Dalam dengan PT Asiatic Persada terutama dari perspektif masyarakat.
1.3
Tujuan
Adapun tujuan
yang menyertai adalah sebagai berikut ;
a.
Mengetahui dan memaparkan proses terjadinya konflik agraria antara
masyarakat adat Suku Anak Dalam dengan PT Asiatic Persada beserta sebab-sebab
yang menyertainya.
b.
Mengetahui
dan menganalisis upaya-upaya
akomodasi yang telah dilakukan selama ini sebagai penyelesaian konflik agraria antara masyarakat adat Suku Anak
Dalam dengan PT Asiatic Persada.
c.
Mengetahui
dan menganalis apa akomodasi yang tepat untuk menagtasi konflik agraria antara
masyarakat adat Suku Anak Dalam dengan PT Asiatic Persada terutama dari
perspektif masyarakat.
BAB 2. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Definisi Konflik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
konflik diartikan sebagai percekcokan, perselisihan atau pertentangan.[4]
Konflik
berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.[5]
Konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu bentuk perbedaan atau
pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di antara dua pihak atau
lebih. Berikut beberapa
Pengertian Konflik Sosial Menurut para Ahli:
a.
Menurut Cassel Concise dalam Lacey : mengemukakan bahwa konflik sebagai “a fight, a
collision; a struggle, a contest; opposition of interest, opinion or purposes;
mental strife, agony”. Pengertian
tersebut memberikan penjelasan bahwa konflik adalah suatu pertarungan, suatu
benturan; suatu pergulatan; pertentangan kepentingan, opini-opini atau
tujuan-tujuan; pergulatan mental, penderitaan batin.
b.
Menurut Wexley & Yukl : Konflik juga merupakan perselisihan
atau perjuangan di antara dua pihak (two parties) yang ditandai dengan
menunjukkan permusuhan secara terbuka dan atau mengganggu dengan sengaja
pencapaian tujuan pihak yang menjadi lawannya.[6]
c. Menurut Soerjono Soekanto :
Suatu proses sosial individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya
dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau
kekerasan.[7]
2.2
Faktor-faktor Penyebab Konflik
Soerjono Soekanto mengemukakan 4
faktor penyebab terjadinya konflik yaitu :
a.
perbedaan antar individu,
b.
perbedaan kebudayaan,
c.
perbedaan kepentingan dan
d.
perubahan sosial.[8]
2.3
Pengertian Agraria
Kata agraria mempunyai arti yang
sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Istilah
agraria berasal dari kata akker (Bahasa
Belanda), agros (Bahasa Yunani)
berarti tanah pertanian, agger (Bahasa
Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, agrarian
(Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.[9]
Dalam terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti 1) urusan pertanian atau
tanah pertanian, 2) urusan pemilikan tanah.[10]
Menurut Andi
Hamzah, agraria adalah masalah tanah dan semua yang ada di dalam dan di
atasnya. Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan
segala apa yang ada di dalam dan di atasnya. Apa yang ada di dalam tanah
misalnya batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada di atas tanah dapat berupa
tanaman, bangunan.[11]
Dalam
Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
LNRI tahun 1960 No.104–TLNRI No.2043, disahkan 24 September 1960, yang lebih
dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan
pengertian, hanya memberikan ruang lingkup agraria sebagaimana yang tercantum
dalam konsiedern, pasal-pasal maupun penjelasannya. Ruang lingkup agraria
menurut UUPA meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya (Pasal 1 ayat (2)).[12] Ruang lingkup sumber daya agraria tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1.
Bumi
Pengertian
bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 4
ayat (1) UUPA adalah tanah.
2.
Air
Pengertian air menurut Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air
yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah
Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang
pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat di dalam
dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di
bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang terdapat di laut.
3.
Ruang
Angkasa
Pengertian ruang
angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia.
Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA,
ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat
digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang
bersangkutan dengan itu.
4.
Kekayaan alam yang terkandung di dalam
bumi
Kekayaan
alam yang terkandung dalam bumi disebut bahan, yaitu
unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan,
termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-undang
No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan). Kekayaan
alam yang terkandung di air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada
di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia (Undang-undang No. 9
Tahun 1985 tentang Perikanan).[13]
Pengertian
agraria dalam arti sempit hanyalah meliputi permukaan bumi yang disebut tanah,
sedangkan pengertian agrarian dalam arti luas. Pengertian tanah yang
dimaksudkan disini bukan dalam pengertian fisik, melainkan tanah dalam
pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agrarian yang dimuat dalam UUPA
adalah pengertian agrarian dalam arti luas.[14]
2.4 Konflik
Agraria
Konflik agraria merupakan jenis konflik horisontal yang paling ekspresif
saat ini. Tingkat keragaman konflik dan jumlah korbannya juga tercatat paling
tinggi. Potensi konflik agraria yang sangat besar meliputi sektor kehutanan,
perkebunan, dan pertambangan.[15] Konflik agraria yang terus bermunculan di berbagai
daerah, dinilai terjadi karena penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintah tidak pernah menyentuh akar
persoalan. Dimana pemerintah hanya menyelesaikan konflik di permukaan saja,
yakni hanya dengan memberikan penjelasan mengenai kekerasan, pelaku, dan korban dari konflik yang terjadi,
namun tidak menyentuh akar masalah. Seperti konflik agraria di kawasan
perkebunan yang merupakan konflik paling tua dan paling banyak memakan korban.
Misalnya konflik yang terjadi di Bima, Mesuji, Langkat, Jambi, Ogan Ilir,
konflik-konflik yang dilatarbelakangi munculnya perkebunan sawit ini terus
terjadi karena masih berlangsungnya pembukaan lahan besar-besaran di kawasan
hutan untuk dijadikan perkebunan seperti yang terjadi di Provinsi Jambi, antara
masyarakat adat Suku Anak Dalam dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT.
Asiatic Persada.
2.5 Profil
Masyarakat Adat Suku Anak Dalam
Provinsi Jambi memiliki keberanekaragaman budaya termasuk salah satunya
macam-macam suku. Salah satu suku di Jambi yang banyak dikenal oleh masyarakat
Indonesia adalah suku adat Anak dalam. Suku Anak Dalam di provinsi Jambi
memiliki sebutan nama untuk mereka yaitu Kubu, suku Anak Dalam dan anak Rimba.
Untuk sebutan kubu bagi suku Anak Dalam memiliki arti yang negatif. Kubu
memiliki arti menjijikan, kotor dan bodoh. Panggilan kubu bagi suku anak dalam
pertama kali terdapat di tulisan-tulisan pejabat kolonial. Sebutan suku Anak
Dalam merupakan sebutan yang diciptakan oleh pemerintah Indonesia melalui
Departemen Sosial. Arti suku Anak Dalam memiliki arti orang yang bermukim di
pedalaman dan terbelakang. Sebutan yang ketiga adalah Anak Rimba merupakan
sebutan yang lahir dari suku Anak Dalam sendiri. Arti Anak Rimba adalah orang
yang hidup dan mengembangkan kebudayaan tidak terlepas dari hutan, tempat tinggal
mereka. Istilah orang Rimba dipublikasikan oleh seorang peneliti Muntholib
Soetomo melalui disertasinya berjudul “Orang Rimbo: Kajian Struktural
Fungsional masyarakat terasing di Makekal, provinsi Jambi”.
Secara mitologi, suku Anak Dalam masih menganggap satu keturunan dengan
Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut
pengingatan mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum
mereka bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani,
wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman
kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat
waktu kapan mereka hijrah tidak diketahui lagi yang mereka (Suku Anak Dalam)
ingat berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa
penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke
hutan dan sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka
bermukim di wilayah daratan diantara sungai Sako Suban dan sungai Sialang,
keduanya sebagai anak dari sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang
mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris.
Menurut Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990)
menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam yaitu: Sejak Tasun 1624, Kesultanan
Palembang dan Kerajaan Jambi yang sebenarnya masih satu rumpun memang terus
menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada tahun
1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok masyarakat Anak
Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang
berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan)
berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti
orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang. Kelompok
lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata
menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito).
Suku anak dalam memiliki wilayah hidup yang cukup luas di Sumatera.
Mulai dari Palembang hingga Riau dan Jambi. Namun, memang paling banyak
terdapat di daerah Jambi. Berdasarkan hasil survei Kelompok Konservasi
Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di
TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan
TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin,
dan Sarolangun.
Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang
Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa
sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum
adat sebagaimana nenek moyang dahulu. Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang
Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung
Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang
aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak
Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di
Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin,
Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Kelompok
lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba
memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat. Daerah yang
didiami oleh Suku Anak Dalam ada di kawasan Taman Nasional Bukit XII antara
lain terdapat di daerah Sungai Sorenggom, Sungai Terap dan Sungai Kejasung
Besar/Kecil, Sungai Makekal dan Sungai Sukalado. Nama-nama daerah tempat mereka
bermukim mengacu pada anak-anak sungai yang ada di dekat permukiman mereka.[16]
2.6 Profil
PT Asiatic Persada
PT
Asiatic Persada adalah sebuah perusahaan yang berkecimpung dalam perkebunan
kelapa sawit dari Jambi , Indonesia. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1979.
Perkebunan kelapa sawit Ini memiliki luas sekitar 270 kilometer persegi. Pada
tahun 2000, perusahaan yang awalnya dikuasai oleh Keluarga Senangsyah ini
dijual kepada Commonwealth Development Corporation dan Pacific Rim (CDC PacRim)
, setelah itu Cargill (2006) dan akhirnya oleh Wilmar pada tahun yang sama.[17]
2.7
Akomodasi
Akomodasi
adalah suatu proses kearah tercapainya persepakatan sementara yang dapat
diterima kedua belah pihak yang tengah bersengketa. Akomodasi ini terjadi pada
orang-orang atau kelompok yang mau tak mau harus bekerja sama, sekalipun dalam
kenyataannya mereka masing-masing selalu memiliki paham yang berbeda dan bertentangan.
Bentuk-bentuk Akomodasi :
a.
Pemaksaan (Coercion) ialah proses Akomodasi yang berlangsung melalui
cara pemaksaan sepihak dan yang dilakukan dengan mengancam saksi.
b.
Kompromi (Compromise) ialah proses Akomodasi yang berlangsung dalam bentuk
usaha pendekatan oleh kedua pihak yang bersedia mengurangi tuntutan masing
masing.
c.
Penggunaan jasa perantara (Mediation) ialah suatu usaha Akomodasi
dengan cara mendatangkan pihak ketiga yang sifatnya netral tidak memihak.
d.
Penggunaan jasa penengah (Arbitrate) ialah suatu usaha Akomodasi
dengan cara mendatangkan jasa penengah, penengah ini menyelesaikan konflik
dengan membuat keputusan-keputusan penyelesaian atas dasar ketentuan-ketentuan
yang ada
e.
Peradilan (Adjudication) ialah suatu usaha penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh pihak ketiga yang mempunyai wewenang sebagai penyelesai
sengketa.
f.
Toleransi
(Tolerantion)
ialah suatu bentuk Akomodasi yang berlangsung tanpa manifestasi persetujuan
formal macam apapun.[18]
BAB 3.
PEMBAHASAN
3.1 Proses Terjadinya Konflik
Semenjak dahulu, Suku Anak Dalam (SAD) di Propinsi
Jambi bermukim disepanjang aliran Sungai Bahar, Sungai Kandang, Sungai
Markanding (kini berada dalam administrasi Pemerintahan Kabupaten Batang Hari
dan Muaro Jambi), dan aliran sungai besar lainnya.[19] Mereka bercocok tanam dan memanfaatkan
hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di zaman Belanda, pada
batas-batas tertentu, hak-hak mereka atas tanah telah diakui dan kemudian
situasi berubah ketika Indonesia merdeka. Di bawah pemerintahan Soeharto (Orde
Baru) utamanya, praktek pembukaan hutan untuk kepentingan bisnis semakin massif
di tahun 1970an, baik untuk kepentingan transmigrasi, bisnis perkayuan (HPH)
hingga pembangunan perkebunan kelapa sawit. Praktek ini menyebabkan ruang hidup
Suku Anak Dalam semakin menyempit, hak-hak atas tanah tidak pernah diakui oleh
negara dan perampasan tanah diwilayah mereka semakin meningkat. Mata
pencaharian hilang dan kemiskinan menjerat kehidupan Suku Anak Dalam di Jambi.
PT Asiatic Persada, perusahaan perkebunan besar kelapa sawit milik Wilmar ini
beroperasi tepat di wilayah yang dianggap Suku Anak Dalam sebagai tanah ulayat
mereka.
Semenjak awal berdiri, PT Asiatic Persada
terus menerus berkonflik dengan masyarakat lokal. Pada mulanya, konflik terjadi
di daerah Sungai Bahar, kemudian dalam perkembangannya melebar dan melibatkan
masyarakat lain di luar wilayah tersebut yang merasa hak nya atas tanah telah
dirampas oleh PT Asiatic Persada. Perusahaan yang dahulunya bernama PT Bangun
Desa Utama (PT BDU) ini beroperasi di tahun 1986, setelah mendapatkan izin Hak
Guna Usaha (HGU) diatas tanah seluas 20.000 Ha. Keberadaan Dusun, perkampungan
dan perladangan masyarakat lokal SAD Sungai Bahar secara eksplisit disebut
dalam surat pelepasan areal kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit milik
PT. BDU yang dikeluarkan oleh Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan
Departemen Kehutanan Jakarta No. 393/VII-4/1987 tanggal 11 Juli 1987. Pada
point 5 surat tersebut disebutkan bahwa pada lokasi ini terdapat pemukiman
penduduk, perkebunan, perladangan dan belukar milik masyarakat, dengan rincian
sebagai berikut: dari 27.150 Ha lahan hutan yang dilepaskan terdapat 23.000 Ha
lokasi yang masih berhutan, 1.400 Ha belukar, 2.100 Ha perladangan, dan 50 Ha
pemukiman penduduk.[20]
Pembangunan
kebun sawit mulai massif dilakukan pada tahun 1990. Tahun 1992, PT BDU berganti
nama menjadi PT Asiatic Persada. Sejak dimulainya pembangunan kebun sawit,
konflik lahan dengan Suku Anak Dalam terus meningkat dan atas dukungan militer
di zaman Presiden Soeharto, perlawanan tersebut dengan segera dipadamkan. Sejak
tahun 1998, situasi politik berubah ketika Presiden Soeharto tak lagi berkuasa
dan masyarakat mulai berani melakukan perlawanan dan menyatakan tuntutan
pengembalian tanah dan kompensasi atas tanah yang telah tergusur. PT Asiatic
Persada juga berkali-kali berganti kepemilikan. Pada tahun 2000, perusahaan
yang awalnya dikuasai oleh Keluarga Senangsyah ini dijual kepada Commonwealth
Development Corporation dan Pacific Rim (CDC PacRim) , setelah itu Cargill
(2006) dan akhirnya oleh Wilmar pada tahun yang sama.[21]
Pada tahun 2002, PT
Asiatic Persada menjanjikan pembangunan kebun kemitraan seluas 600 Ha di bagian
sebelah utara HGU PT Asiatic Persada dan seluas 400 Ha di bagian selatan HGU PT
Asiatic Persada (Areal Bungin) yang diperuntukkan untuk Suku Anak Dalam yang berada di Desa Tanjung Lebar, Dusun Sungai
Beruang dan Dusun Muaro Penyerukan.[22] Namun, setelah Wilmar membeli PT Asiatic Persada, rencana
pembangunan kebun
kemitraan ini tidak direalisasikan. Kemudian pada
tahun 2010, PT Asiatic Persada
mencadangkan kebun kemitraan kelapa sawit seluas 1000 Ha kepada seluruh Suku Anak Dalam dengan jumlah 771 KK berdasarkan hasil identifikasi
dan verifikasi Pemerintah Kabupaten Batang Hari.[23] Meski sebagian kelompok Suku Anak Dalam menerima kemitraan kelapa sawit seluas 1000 Ha,
sebagian besar kelompok Suku Anak Dalam
lainnya justru menolak dan tetap menginginkan lahan yang diklaim oleh masing-masing
kelompok dikembalikan kepada Suku Anak Dalam.
Kelompok Suku Anak Dalam lain seperti Tanah Menang, Pinang Tinggi dan
Padang Salak, menolak pembangunan kebun kemitraan sebagai kompensasi atas lahan
dan perladangan mereka yang telah digusur oleh PT Asiatic Persada dan tetap
menuntut dikembalikannya lahan mereka.
Dalam perjalanannya, berbagai tindak kekerasan membumbui
konflik yang berkepanjangan ini. Ironisnya aparatur negara yang seharusnya
bersikap netral dan lebih mengutamakan keselamatan, lebih mengutamakan
kepentingan umum masyarakatnya justru memihak dan terkadang ikut campur dalam
konflik perbedaan kepentingan ini. Dalam berita yang dilangsir oleh Gatranews
misalnya, diberitakan seorang warga Suku Anak Dalam Puji Bin Tayat meninggal dunia
dan 5 warga Suku Anak Dalam lainnya mengalami luka parah diakibatkan oleh
tindakan pengeroyokan oleh oknum militer dan petugas keamanan PT. Asiatic Persada.[24] Kemudian dalam berita yang dilangsir oleh BerdikariOnline terjadi
penculikan dan pengambilan paksa terhadap saudara Titus oleh oknum militer dan
petugas keamanan PT. Asiatic Persada dimana korban dianiaya dan dikeroyok
hingga terluka parah.[25]
Perampasan
tanah, konflik agraria, dan kekerasan terhadap Suku
Anak Dalam menjadi
permasalahan utama dari konflik antara Suku Anak Dalam dengan PT. Asiatic
Persada ini.
3.1
Penyelesaian
Konflik selama ini
Beberapa
kali usaha penyelesaian konflik melalui jalur pemerintah (dari tingkat
Nasional, Propinsi dan Kabupaten) telah ditempuh oleh kelompok-kelompok Suku Anak Dalam yang berkonflik dengan PT Asiatic Persada, tetapi dalam perjalanannya tidak kunjung ditemukan
penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pemerintah dinilai
abai dan tidak serius dalam menyelesaikan konflik ini. Tidak adanya respon yang
baik dari pemerintah membuat kelompok-kelompok Suku Anak Dalam putus asa.
Berbagai konflik kembali tumbuh subur. Pendudukan lahan dilakukan oleh hampir
seluruh kelompok-kelompok Suku Anak Dalam diareal-areal yang mereka klaim.
Tidak adanya respon yang baik dari pemerintah ini juga mengakibatkan
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin rendah.
Pada oktober 2008, beberapa tokoh masyarakat Suku Anak
Dalam melayangkan surat pengaduan kepada manajemen Wilmar di Singapura.[26] Surat
tersebut berisi pengaduan mengenai pelanggaran-pelanggaran HAM dan kekerasan
yang dilakukan oleh PT Asiatic Persada terhadap kelompok-kelompok Suku Anak Dalam.
surat tersebut mendapat tanggapan yang cukup baik dari pihak managemen di
Singapura, dan untuk menindak lanjuti surat pengaduan tersebut, beberapa
perwakilan Suku Anak Dalam kemudian diminta untuk hadir pada pertemuan di Bali
pada bulan November 2008. Dalam pertemuan informal yang melibatkan management Singapura
dan managemen PT Asiatic Persada, disepakati bahwa kedua belah pihak bersetuju
untuk melakukan pertemuan-pertemuan untuk membahas masalah dan membahas
upaya-upaya penyelesaian. Pada Januari
2009 terjadilah pertemuan pertama di Jambi, dalam pertemuan ini disepakati
proses penyelesaian konflik dilakukan melalui mediasi dengan 3 tahap. Tahap I
dilakukan komunikasi. Pada tahap ini, dibentuk komunikasi-komunikasi untuk
membangun kesamaan persepsi, dan juga guna menurunkan eskalasi konflik. Dan
pada tahap I ini berhasil membawa kedua belah pihak untuk bersepakat dalam
perundingan yang lebih bertujuan maju yaitu penyelesaian masalah. Pada tahap I
ini banyak pembelajaran yang di terima baik oleh kedua belah pihak, maupun pada
pendamping, bahwa komunikasi yang terjadi selama ini cukup keras, maka pada
tahap I, komunikasi lebih mencair. Kepercayaan mulai muncul, terutama ketika
perusahaan melakukan penebangan 11 batang sawit diatas areal pemakaman milik Suku
Anak Dalam yang berada di kawasan Temidai. Penebangan ini disaksikan oleh
seluruh Suku Anak Dalam, dan penebangan dilaksanakan pada tanggal 30 Juli 2009.[27] Selain
melakukan penebangan pohon sawit yang ditanam oleh perusahaan diatas pemakaman
tua milik Suku Anak Dalam, perusahaan juga meminta maaf kepada seluruh SAD dan
seluruh anak cucu pewaris pemakaman, dan memperbolehkan bagi seluruh Suku Anak Dalam
untuk melakukan ziarah ke pemakaman tersebut. Tahap I ini selain menghasilkan
beberapa hal diatas, juga berhasilnya kedua belah pihak melakukan pemetaan atas
areal yang diklaim oleh Suku Anak Dalam yang kemudian nantinya akan dijadikan
bahan untuk dirundingkan pada tahap II.
Ketika proses tahap I selesai, dan kemudian kedua
belah pihak masuk dalam perundingan ditahap II. dalam tahap II ini kedua belah
pihak kemudian memilih tim perunding mereka masing-masing. Pada tahap II, ada
beberapa pilihan mediator yang kemudian menjadi pilihan- pilihan bagi kedua belah pihak, yaitu, AKSENTA, Universitas Jambi, CAO.
Namun dengan banyak pertimbangan, akhirnya kedua belah pihak menyatakan memilih
Yayasan SETARA Jambi sebagai mediator dan CAO Sebagai observer dalam proses
perundingan.[28]
Tidak seperti pada tahap I, tahap II yakni perundingan
tidak berjalan dengan mulus, karena kemudian tim perunding dari PT. Asiatic
Persada hanya memberikan satu solusi atas konflik yang terjadi. Mereka
mengusulkan agar masyarakat Suku Anak Dalam yang tidak menyetujui skema
kemitraan 1000 Ha, berubah pikiran dan menerima skema tersebut. Berbagai cara
kemudian dilakukan oleh PT. Asiatic Persada agar Masyarakat Suku Anak Dalam mau
menerima usulannya tersebut. Tekanan-tekanan dilakukan, bahkan pemerintah
daerah Batanghari kemudian juga turut ikut campur dalam penekanan-penekanan
tersebut. Kemudian dengan melakukan perundingan diluar perundingan dan
membangun kesepakatan diluar fasilitasi yang telah sama-sama disepakati bersama,
PT. Asiatic Persada berhasil membujuk beberapa kelompok Suku Anak Dalam untuk
menerima skema yang diajukan oleh mereka. Tidak sampai disitu, PT. Asiatic
Persada juga berulah dengan melakukan pelanggaran terhadap Tata Laksana Perundingan
yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Selain itu PT. Asiatic
Persada juga telah mengabaikan berita acara perundingan-perundingan yang
seharusnya menjadi aturan bersama yang harus ditaati.
Perundingan pada phase ini, sungguh mengecewakan bagi
kelompok Suku Anak Dalam, dimana ketika perundingan telah menuju pada
penyelesaian, PT Asiatic Persada melakukan perbuatan yang melukai dan mencemari
proses perundingan, dengan tidak menghormati tata laksana perundingan, tidak
menghormati mediator yang telah ditunjuk dan bahkan tidak menghargai kesepakatan-kesepakatan
yang telah dibangun bersama. Dalam phase ini, membuktikan bahwa salah satu
pihak tidak memahami dengan benar konteks dari mediasi, dan tidak menyadari
dengan sungguh-sungguh bahwa mediasi adalah jalan terbaik tak hanya bagi
penyelesaian konflik, namun juga sebagai ruang bagi rekonsiliasi dan
perdamaian.
3.2
Mediasi Sebagai
Resolusi Konflik
Mediasi sebetulnya
bukanlah hal yang baru bagi masyarakat awam, termasuk SAD. jika mediasi
persamaannya adalah musyawarah, maka sudah sejak lama masyarakat menggunakannya
sebagai ruang dalam penyelesaian sengketa dan konflik-konflik yang terjadi
didalam masyarakat. Namun seiring dengan berjalannya waktu, mediasi atau
musyawaah seperti kehilangan pamornya, ketika model-model penyelesaian sengketa
dan konflik lebih banyak menggunakan ruang-ruang pengadilan dan ruang formal
lainnya.
Dan ketika saat ini
mediasi kembali dipromosikan menjadi ruang-ruang penyelesaian konflik kembali,
terutama dalam penyelesaian konflik penguasaan sumber daya alam, memang sempat
terjadi kegagapan ditingkat masyarakat, misalnya adanya keraguan mengenai
payung hukum atas kesepakatan yang dihasilkan oleh mediasi, dan kekuatan
mediasi dalam memaksa semua pihak untuk taat dalam menjalankan hasil
kesepakatan tersebut. Tak hanya kegagapan ditingkat masyarakat, tapi juga
kegagapan yang sama dialami oleh pemerintah, dan bahkan pun dialami oleh
perusahaan sebagai salah satu pihak penting dalam konflik.
Tidak mudah memang mempromosikan sesuatu
dalam hal ini Mediasi sebagai jalan penyelesaian konflik dan mendorong
perdamaian, karena selama ini belum ada contoh yang kongkrit yang bisa dilihat.
Tidak heran jika kemudian mediasi yang digagas untuk memediasi konflik dan
membangun perdamaian antara Suku Anak Dalam dengan PT Asiatic Persada,
mengalami maju mundur. Tidak jarang mengalami stagnan dan bahkan kebuntuan,
yang kadang berdampak pada turun naiknya semangat dan kepercayaan para pihak
pada proses mediasi.
Namun
demikian, Mediasi masih dapat dikatakan sebagai cara pemecahan masalah yang
tepat dalam menghadapi persoalan konflik agraria, mengapa demikian?, karena di
dalam akomodasi ini pihak-pihak yang berselisih paham dapat mengutarakan
keberatannya dengan setara tanpa campur tangan pihak lain. Di dalam kasus ini
misalnya, pihak swasta atau asing yang menjadi mediator tidak dapat memutuskan
suatu keputusan atau ketetapan melainkan hanya sebagai mediator yang bertugas
mengawasi jalannya mediasi agar sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati
bersama.
Dalam mediasi peran pemerintah sebenarnya sangat besar, karena disini
terutama bila pihak yang bertikai adalah masyarakat dengan swasta, artinya
pihak ketiga yang sebenarnya kuat dan netral hanyalah pemerintah. Pemerintah sebagai
mediator dapat membuat jalannya mediasi menjadi terarah. Ini dikarenakan
besarnya wewenang yang ia miliki sehingga pihak-pihak yang berselisih bisa
mengikuti jalannya perundingan dengan mengikuti kesepakatan yang telah
disepakati bersama sebelumnya. Wewenang ini dapat memberikan rasa was-was
terhadap pihak yang ingin berulah, sehingga jalan keluar dapat cepat dicapai.
Bila seandainya pemerintah mau lebih serius dan tegas dalam menangani konflik
agrarian ini, maka pasti akan segera ditemukan jalan keluarnya.
BAB 4. PENUTUP
4.1
Kesimpulan
1. Konflik agraria di Indonesia khususnya di Jambi
merupakan permasalahan yang berakar dari pemerintah orde baru. Di bawah pemerintahan Soeharto, praktek pembukaan hutan
untuk kepentingan bisnis semakin massif dari tahun ke tahun, baik untuk
kepentingan transmigrasi, bisnis perkayuan (HPH) hingga pembangunan perkebunan
kelapa sawit. Namun dalam prakteknya, rakyat menjadi korban. Dalam kasus PT.
Asiatic Persada ini, masih dapat ditemukan praktek-praktek gaya Orde Baru yang
kemudian menimbulkan gejolak di dalam masyarakat utamanya Suku Anak Dalam.
2. Mediasi yang selama ini dilakukan
cenderung mengalami kebuntuan. Hal ini dikarenakan pemerintah yang seharusnya
menjadi penengah tidak tegas dan kurang serius dalam mengatasi permasalah
konflik agraria yang terjadi antara Suku Anak Dalam dengan PT. Asiatic Persada
ini. Akibatnya perundingan-perundingan yang selama ini dilakukan hanya berjalan
ditempat dan tidak menghasilkan hasil yang signifikan.
3. Meskipun selama ini mediasi masih belum
dapat memberikan hasil yang memuaskan, tipe akomodasi ini dirasa masih sesuai
untuk memecahkan kebuntuan konflik agraria kedepan. Tetapi kemudian, pemerintah
harus lebih serius dan tegas terhadap pihak-pihak yang berselisih, agar
kemudian dapat tercipta jalannya perundingan yang terarah dan dapat menemukan
titik terang.
4.2
Saran
1.
Pemerintah harus segera membuat regulasi yang tepat dan tidak tumpang
tindih, sehingga tidak ada kerancuan hukum dalam konflik agraria.
2.
Pemerintah harus lebih selektif dalam memilih investor agar tidak timbul
kerugian terhadap masyarakat lokal.
3.
Pemerintah harus lebih tegas dan serius dalam mengahadapi
konflik-konflik agraria yang masih ada ataupun yang kemungkinan akan terjadi
kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
BerdikariOnline.
2014. Kronologis Penculikan, kekerasan
dan pembunuhan warga SAD oleh Aparat TNI.
Web. http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20140307/kronologis-penculikan-kekerasan-dan-pembunuhan-warga-sad-oleh-aparat-tni.html,
diakses pada 14 Oktober 2014 pukul 12.30.
Ervina. 2014, Hari Hutan Sedunia.
Web.http://www.kidnesia.com/Kidnesia2014/Dari-Nesi/Sekitar-Kita/Sains/Hari-Hutan-Sedunia, diakses pada 13 Oktober
2014 pukul 15.20.
Gatra. 2014. KPA Kembalikan Tanah Suku Anak Dalam Jambi.
Web.http://www.gatra.com/nusantara-1/jawa-1/48505-kpa-kembalikan-tanah-suku-anak-dalam-jambi.html,
diakses pada tanggal 13 Oktober 2014 pukul 18.30.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.3, Web.http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Kebudayaan Suku Anak Dalam Jambi.
Web.http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1071/suku-anak-dalam-jambi,
diakses pada tanggal 14 Oktober
2014 pukul 18.00.
Maryati, Kun,dkk.2009. Sosiologi untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga.
Nurseno.
2009. Theory and Application of Sociology.
Jakarta: Tiga Serangkai.
Pengertian Konflik Sosial
Menurut Para Ahli.
http://www.pengertianahli.com/2013/08/pengertian-konflik-sosial- menurut-para.html, diakses pada 14 Oktober
2014 pukul 16.10.
Rofiq, Rukaiyah dan Rian Hidayat. 2013. Mediasi;Strategi atau Tujuan? “Sebuah
catatan perjalanan dan pengalaman mediasi konflik antara PT Asiatic Persada
dengan kelompok Suku Anak Dalam Batin Sembilan di Jambi”.
Web.http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2013/11/setar a-report.pdf, diakses pada tanggal 10 Oktober 2014 pukul 14.00.
Setiawan, Ebta. 2014, konflik.
Web.
http://kbbi.web.id/konflik, diakses pada 14 Oktober 2014 pukul 16.05.
Suhari, Iswadi. 2014, Presiden Baru dan Data Lahan Sawah.
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2014/07/01/presiden-baru-dan-data-lahan-sawah-665538.html, diakses pada 14 Oktober 2014 pukul 15.30.
Supriadi, Hukum Agraria, Cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 1.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Cet.
V (Jakarta: Kencana, 2009), h. 1.
Widya,
Aulia. 2013. Konflik Agraria Antara
Dominasi Superdinat dan Resistensi Subordinat.
Web.https://www.academia.edu/5941146/Konflik_Agraria_Antara_Dominasi_Superdinat_dan_Resistensi_Subordinat,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2014 pukul
15.00.
[1]http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2014/07/01/presiden-baru-dan-data-lahan-sawah-665538.html, diakses pada 14 Oktober 2014 pukul 15.30.
[2]http://www.kidnesia.com/Kidnesia2014/Dari-Nesi/Sekitar-Kita/Sains/Hari-Hutan-Sedunia, diakses pada 13 Oktober
2014 pukul 15.20.
[3]http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20140307/kronologis-penculikan-kekerasan-dan-pembunuhan-warga-sad-oleh-aparat-tni.html,
diakses pada 14 Oktober 2014 pukul 12.30.
[4]http://kbbi.web.id/konflik,
diakses pada 14 Oktober 2014 pukul 16.05.
[5]http://www.pengertianahli.com/2013/08/pengertian-konflik-sosial-menurut-para.html,
diakses pada 14 Oktober 2014 pukul 16.10.
[6]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Cet.
V (Jakarta: Kencana, 2009), h. 1.
[10]Kamus Besar Bahasa Indonesia
Offline 1.3, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
[11]Urip Santoso, Op.Cit.
[12]Supriadi, Hukum Agraria, Cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 1.
[13]Urip Santoso, Op.Cit., h. 3.
[15]https://www.academia.edu/5941146/Konflik_Agraria_Antara_Dominasi_Superdinat_dan_Resistensi_Subordinat,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2014 pukul 15.00.
[16]http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1071/suku-anak-dalam-jambi,
diakses pada tanggal 14 Oktober 2014 pukul 18.00.
[17]http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2013/11/setara-report.pdf,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2014 pukul 14.00.
[18]Nurseno.
2009. Theory and Application of Sociology.
Jakarta: Tiga Serangkai.
[19]http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2013/11/setara-report.pdf,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2014 pukul 14.00.
[20]http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2013/11/setara-report.pdf,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2014 pukul 14.00.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]Ibid.
[24]http://www.gatra.com/nusantara-1/jawa-1/48505-kpa-kembalikan-tanah-suku-anak-dalam-jambi.html,
diakses pada tanggal 13 Oktober 2014 pukul 18.30.
[25]http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20140307/kronologis-penculikan-kekerasan-dan-pembunuhan-warga-sad-oleh-aparat-tni.html,
diakses pada tanggal 13 Oktober 2014 pukul 18.35.
[26]http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2013/11/setara-report.pdf,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2014 pukul 14.00.
[27]Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar