Karya rinaras ambuka budi, gapura mangesthi aruming bawana.

Minggu, 12 Juni 2016

Kajian secara filsafat pergeseran fungsi alun-alun (Dimas B.)

FENOMENA PERGESERAN FUNGSI ALUN–ALUN PADA MASA TRADISIONAL DAN MODERN( SEBUAH KAJIAN SECARA ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS )



MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Etika Akademik




Oleh
DIMAS BASKORO        140910201042






PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2014


BAB 1. PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Peradaban silih berganti, jatuh dan bangun bagaikan ombak yang menggulung lautan. Waktu pun terus berjalan, menyisakan puing-puing kemegahan masa lalu bagi negeri yang menakjubkan ini. Indonesia adalah negeri yang kaya, tempat bersemayamnya masa lalu yang megah. Namun demikian, kemegahan itu telah runtuh dan hanya menyisakan sedikit arang dan api yang terus menggerogoti. Arang merupakan perwujudan budaya manusia Indonesia, sementara api adalah perwujudan modernisasi global yang kian menggerus budaya bangsa.
Budaya merupakan suatu sistem yang didalamnya mencakup sistem nilai dan kepercayaan serta ekspresi budaya lain seperti gaya hidup dan preferensi yang mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap segala sesuatu.1) Ekspresi-ekspresi budaya tersebut akan memengaruhi kebutuhan-kebutuhan manusia akan ruang dan selanjutnya termanifestasikan dalam cara mereka membangun, menata ruang, serta berprilaku dalam penggunaannya.
Beberapa unsur dari budaya misalnya cara pandang dan sistem nilai dapat berubah seiring perkembangan faktor-faktor eksternal dari lingkungan luar. Modernisasi sebagai salah satu pembawa faktor eksternal memiliki andil besar terutama terhadap masuknya unsur budaya asing yang bercampur dengan nilai budaya awal maupun membentuk suatu sistem budaya yang baru. Modernisasi selama berabad-abad cenderung menjadi agen perubahan, dimana budaya awal secara konsisten berkembang dan sedikit demi sedikit meninggalkan sifat aslinya.
Alun-alun adalah salah satu produk budaya asli masyarakat Jawa yang kini sedang mengalami pergeseran fungsi. Pergeseran fungsi Alun-alun ini disebabkan oleh modernisasi yang kian membumi. Pemerintah maupun masyarakat sebagai aktor utama cenderung memandang Alun-alun sebagai sarana hiburan dan komersial semata. Peran dan fungsi Alun-alun seakan-akan dikerdilkan. Alun-alun

1)Rapoport, A. 2001, Theory, Culture, and Housing, Journal of Housing Theory and Society, 17:4, pp. 145-165
yang pada mulanya merupakan sarana untuk ritual keagamaan serta pusat pemerintahan (keraton) yang sakral, kini hanya dianggap sebagai tanah lapang yang tidak punya kesan spiritual. Padahal dalam tata kota masyarakat Jawa tradisional, keraton dan alun-alunnya merupakan pusat orientasi perkembangan kota yang direncanakan dengan memperhatikan keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos sebagai pengejawantahan dari konsep kosmologis. Tatanan spasial kota-kota tradisional Jawa menunjukkan alun-alun berada pada tengah kota sebagai lambang dari pusat jagat raya dan di sisinya berdiri komponen-komponen inti dari kehidupan masyarakat yang meliputi pusat pemerintahan yang berdiri di sebelah selatan alun-alun, serta masjid agung di sebelah baratnya.2)
Studi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis Alun-alun dari persepktif Ontologi guna mengetahui apa sebenarnya Alun-alun itu, Epistemologi bagaiamana fungsi Alun-alun dapat bergeser, dan Aksiologi untuk apa Alun-alun itu dibentuk. Selain itu studi ini juga akan memaparkan bagaimana fungsi alun – alun dapat bergeser yang pada awalnya sebagai sarana ritual keagamaan dan pusat pemerintahan hingga saat ini menjadi tempat hiburan dan sarana komersial. Lebih lanjut analisis dilakukan untuk mengetahui apa saja fungsi Alun-alun yang telah bergeser dari zaman Tradisional hingga zaman modern.

1.2              Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang muncul dalam kajian ini antara lain
a.                  Apa sebenarnya hakikat alun-alun itu (Ontologis) ?
b.                  Bagaimana fungsi alun-alun dapat mengalami pergeseran (Epistemologis) ?
c.                   Untuk apa alun-alun itu dan apa saja nilai kegunaannya (Aksiologis) ? 





2)Moerdjoko. (2005) Alun-Alun Ruang Publik Bersejarah dan Konservasi, Jakarta:Univ Trisakti
1.3              Tujuan
Adapun tujuan yang menyertai adalah sebagai berikut ;
a.                  Mengetahui dan menganalisis apa sebenarnya hakikat alun-alun itu menggunakan perspektif ontologi
b.                  Mengetahui dan menganalisis bagaimana fungsi alun-alun dapat mengalami pergeseran menggunakan perspektif Epistemologi
c.                   Mengetahui dan menganalisis apa saja nilai kegunaan alun-alun menggunakan perspektif Aksiologi



BAB 2. KAJIAN PUSTAKA

2.1         Fenomena
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fenomena diartikan sebagai hal-hal yang dinikmati oleh panca indra dan dapat ditinjau secara ilmiah. 3)
Fenomena juga diartikan sebagai berikut 4) :
a.              Fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena alam) atau gejala. Contoh : Gerhana adalah salah satu -- ilmu pengetahuan
b.             Fenomena diartikan sebagai sesuatu yg luar biasa atau keajaiban. Contoh : Sementara masyarakat tidak percaya akan adanya pemimpin yg berwibawa, tokoh itu merupakan – tersendiri
c.              Fenomena diartikan sebagai fakta dan kenyataan. Contoh : Peristiwa itu merupakan -- sejarah yg tidak dapat diabaikan.

2.2         Alun-Alun
a.             Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Alun-alun adalah  tanah lapang yg luas di muka keraton atau di muka tempat kediaman resmi bupati, dsb”.5)
b.             Menurut H Kunto, “Alun-alun tipologinya berada satu sumbu dengan keraton membentuk garis lurus dengan laut selatan dan gunung yang dianggap sakral. Posisi keraton ada di sebelah selatan Alun-alun sedangkan masjid agung ada di sebelah baratnya. Prinsip tatanan spasial ini telah ada sejak masa kerajaan Hindu dimana Alun-alun diletakkan”.6)






3)http://kbbi.web.id/fenomena, diakses 7 oktober 2014 pukul 08.06
4)http://www.kamusbesar.com/10894/fenomena, diakses 7 oktober 2014 pada pukul 08.10
5)http://kbbi.web.id/alun-alun, diakses 30 september 2014 pukul 13.15
6)Kunto, H. (1986), Semerbak Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia
c.              Alun-alun menurut KRT. Puspodiningrat, “berasal dari kata alun gelombang. Gelombang yang mengayun-ayunkan hidup manusia di dalam samudra masyarakat. Gelombang ini digerakkan oleh angin (beringin) dari segala penjuru yang tumbuh disekeliling alun-alun. Angin ini ibarat berbagai aliran yang membawa pengaruh kepada manusia, misalnya ideologi, agama, science, kepercayaan dan sebagainya, Sedangkan beringin yang ada di tengah alun-alun yang berjumlah dua buah menggambarkan kesatuan antara mikrokosmos dan makrokosmos...”.7)

2.3         Tradisional
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tradisional diartikan sebagai sikap dan cara berpikir serta bertindak yg selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun.8)

2.4         Modern
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, modern diartikan sebagai sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.9) 

2.5     Metode yang Dipakai 10)

1.    Ontologi
Menurut Amsal Bakhtiar yang dikutip dalam bukunya filsafat agama, ontologi berasal dari kata ontos, sesuatu yang berwujud. Ontologi adalah teori atau ilmu tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Ontologi tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada logika semata-mata. Jadi Ontologi




7)Khairuddin H. 1995, Filsafat Kota Yogyakarta, Yogyakarta: Liberty, hal 53.
8)http://kbbi.web.id/tradisional, diakses 7 oktober 2014 pukul 08.06.
9)http://kbbi.web.id/modern, diakses 7 oktober 2014 pukul 08.16.


Jadi Ontologi merupakan suatu usaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan supaya para intelektual dapat mendeskripsikan sifat-sifat umum dan ajaran akan keberadaan atau ada, kenyataan (rill). Ontologi dalam kaitannya dengan filsafat yaitu, kemampuan pemikiran (pola pikir) dan kajian yang membahas hakikat atau kebenaran sesuatu yang ada. Menurut Jujun S. Suriasimanti yang dikutip oleh amsal bakhtiar mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Sehingga kebenaran akan keobyektifitasan tersebut dapat diketahui . Ontologi erat kaitannya dengan hakikat yang menerjemahkan wujud hakiki apa yang dikajinya ada (objek), baik dalam bentuk fisik, jasmani, konkret ataupun rohani (abstrak). Jadi,  ontologi dikaitkan dengan filsafat sebagai pemahaman yang luas dari arti penjelasan hakikat pengetahuan.
2.    Epistemologi
Epistemologi sering juga disebut dengan teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistimologi berasal dari kata yunani episteme, yang artinya pengetahuan, dan logos yang artinya ilmu atau teori. Jadi, epistimologi dapat didefenisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan (A. Susanto, 2011 : 102). Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge) (H.A.Fuad Hasan, 2010 : 225), yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Dalam ilmu filsafat epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat itu sendiri. Epistomologi yang menghasilkan teori ilmu pengetahuan yang membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirakan.
3.    Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari perkataan axios (yunani) yang berarti nilai, dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu kepada permasalahan etika dan estetika. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praktis (A. Susanto, 2011 : 116). Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengadilan terhadap satu intitusi dapat wujud (Suwardi Endraswara, 2012 : 146) sedangkan Jujun S.Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.



















BAB 3. PEMBAHASAN

Pergeseran Fungsi Alun-alun dari Tradisional Menuju Modern Ditinjau dari Beberapa Perspektif Filsafat
1.    Ontologi
          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Alun-alun adalah “tanah lapang yg luas di muka keraton atau di muka tempat kediaman resmi bupati, dsb”.11) Pernyataan ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Van Romondt yang menjelaskan bahwa pada dasarnya alun-alun itu merupakan halaman depan rumah, namun dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa berarti raja, bupati, wedana dan camat bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling luas di depan Istana atau pendopo tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal pemerintahan militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan.12)
          Dari kedua pernyataan tersebut dapat kita simpulkan bahwa alun-alun adalah tanah lapang yang luas dan berlokasi di depan pusat pemerintahan. Namun, apakah dengan demikian dapat diartikan semua tanah lapang yang luas namun tidak berada di depan pusat pemerintahan bukanlah alun-alun?. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita simak pernyataan Thomas Nix yang menjelaskan bahwa alun-alun merupakan lahan terbuka dan terbentuk dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal ini, bangunan gedung merupakan titik awal dan merupakan hal yang utama bagi terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang dibiarkan tersisa dan berupa alun-alun, hal demikian bukan merupakan alun-alun yang sebenarnya. Jadi alun-alun bisa di desa, kecamatan, kota maupun pusat kabupaten”.13) Dari pernyataan Thomas Nix tersebut kita dapat memahami bila alun-alun yang sebenarnya adalah
kesatuan suatu tanah yang luas dengan pemerintahan didalamnya. Artinya alun-alun tidak dapat dipisahkan dengan pemerintahan.


11)http://kbbi.web.id/alun-alun, diakses 30 september 2014 pukul 13.15.
12)Kunto, H. 1986, Semerbak Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia.
13)http://www.academia.edu/7762320/Pelestarian_Bangunan-Kuno_Bersejarah_di_Kota_Malang, diakses 7 oktober pukul 09.08.
          Bangunan gedung seperti yang dijelaskan oleh Thomas Nix merupakan perwujudan pemerintahan yang menjadi titik awal serta hal yang utama bagi terbentuknya alun-alun. Alun-alun merupakan salah satu konsep ruang terbuka publik yang dikenal oleh masyarakat Jawa Tradisional. Konsep spasial alun-alun sebagai bagian dari komplek keraton atau pusat pemerintahan telah dikenal sejak abad 13-18 M, tepatnya pada masa kerajaan Majapahit hingga Mataram.14)  Pada masa itu, budaya masyarakat berupa kepercayaan kosmologis yang sangat kuat memberikan pengaruh besar dalam perencanaan fisik dan spasial tata ruang termasuk juga alun-alun sebagai ruang publik utama.
          Dalam tata kota masyarakat Jawa tradisional, keraton dan alun-alunnya merupakan pusat orientasi perkembangan kota yang direncanakan dengan memperhatikan keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos sebagai pengejawantahan dari konsep kosmologis. Tatanan spasial kota-kota tradisional Jawa menunjukkan alun-alun berada pada tengah kota sebagai lambang pusat jagat raya dan di sisinya berdiri komponen-komponen inti dari kehidupan masyarakat yang meliputi pusat pemerintahan yang berdiri di sebelah selatan alun-alun, serta masjid agung di sebelah baratnya.15)  Alun-alun merupakan titik pertemuan dari jalan-jalan utama yang menghubungkan keraton dengan bagian barat, utara, dan timur dari kota, sementara kawasan sebelah selatan keraton merupakan daerah tempat tinggal keluarga Raja dan para pengikutnya. Keraton sebagai pusat pemerintahan seolah-olah “memangku” alun-alun dengan dengan keberadaan pohon beringin yang berada di tengah-tengahnya satu sumbu dengan laut pantai selatan dan gunung di sebelah utaranya.16)  Menilik tata spasial dan perencanaannya yang sarat makna kosmologis, makna dan fungsi alun-alun bagi masyarakat Jawa tradisional lebih merupakan simbol kekuasaan, dan budaya yang bernuansa sakral.   




14)Handinoto (1992), Alun-alun Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra.
15)Moerdjoko. (2005) Alun-Alun Ruang Publik Bersejarah dan Konservasi, Jakarta:Univ Trisakti.
16)Ibid.
2.    Epistemologi
          Sebagai salah satu bentuk ruang publik yang dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat, keberadaan dan kondisi alun-alun dari masa ke masa tak dapat dilepaskan dari peran institusi pemerintah sebagai agen yang bertanggung jawab atas kontrol terhadapnya. Nilai-nilai yang dianut oleh institusi pemerintah beserta tujuan yang hendak dicapainya secara langsung mempengaruhi mereka dalam membuat berbagai kebijakan baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Selanjutnya penerapan dari kebijakan yang dikeluarkan dapat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi arah perencanaan dan perkembangan kota termasuk kawasan alun-alun sebagai ruang publik. Kebijakan institusi tersebut dapat berupa undang-undang, maupun segala peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Indonesia telah mengalami beberapa pergantian institusi pemerintahan diantaranya masa kolonial, kemerdekaan, dan era reformasi. Perbedaan budaya dan tata nilai yang dianut oleh setiap institusi pemerintahan dengan kekhasanya masing-masing akan mempengaruhi transformasi yang terjadi pada kawasan alun-alun khususnya di tanah jawa.
          Alexander (1987) seperti dikutip oleh Manik menyatakan bahwa proses transformasi pada lingkungan dapat berjalan melalui perencanaan ataupun tidak dengan tak menutup terjadinya penyimpangan. Proses transformasi tersebut terjadi secara sedikit demi sedikit dan berkesinambungan, sedangkan waktu dimulai dan berakhirnya sangat dipengaruhi oleh latar belakang proses terjadinya.17) Berdasarkan teori tersebut, maka dapat dikatakan bahwa proses transformasi fisik pada kawasan alun-alun kota di tanah jawa terjadi berdasarkan perencanaan yang dilakukan oleh institusi yang memegang kontrol atas alun-alun. Sedangkan satu masa pemerintahan dapat diidentikkan dengan berlangsungnya sebuah periode proses transformasi fisik pada alun-alun. Ketika satu masa pemerintahan berakhir, maka berakhirlah sebuah periode proses transformasi, namun merupakan awal dari periode transformasi berikutnya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang


17)Manik, I. W. Y (2007) Pengaruh Demografi, Gaya Hidup, dan Aktivitas Terhadap Transformasi Tipo-Morfologi Hunian di Desa Bayung Gede Bali, Tesis Arsitektur, ITB: tidak diterbitkan.
dibawa oleh institusi atau yang berkuasa pada masa itu. Dengan demikian, transformasi fisik dan spasial pada kawasan alun-alun sejak saat dibangunnya hingga sekarang merupakan rangkaian dari proses yang terjadi secara berkesinambungan.
          Transformasi tidak berlangsung secara spontan dan menyeluruh. Karakter transformasi suatu lingkungan sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial budaya. Transformasi itu sendiri memiliki bagian-bagian dari sistem budaya yang mudah terpengaruh dan ada yang merupakan inti yang cenderung bertahan. Dalam hal ini unsur yang bersifat fisik cenderung lebih mudah mengalami transformasi, sedangkan yang bersifat keyakinan dan kebiasaan akan cenderung bertahan.18)   
          Sebagai inti dari pusat kota, alun-alun memiliki fungsi yang majemuk, meliputi fungsi administratif, ekonomis, sosial, kultural, dan pertahanan.19) Selain sebagai tempat tamu keraton menunggu, alun-alun juga kerapkali digunakan sebagai sarana upacara keagamaan serta permainan rakyat seperti sodoran (pertandingan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul) pada waktu-waktu tertentu.20) Namun diatas segala fungsi tersebut, fungsi pemerintahan dan keagamaan merupakan fungsi yang dominan. Oleh karena itu melihat tata spasial dan perencanaannya yang sarat makna kosmologis, maka bagi masyarakat Jawa tradisional makna alun-alun lebih merupakan simbol kekuasaan, dan budaya yang bernuansa sakral.
          Institusi Kolonial Belanda yang masuk pada periode pemerintahan berikutnya di Jawa ingin memanfaatkan citra kekuasaan yang muncul di kawasan alun-alun dengan membangun pusat pemerintahannya di tempat serupa. Belanda membangun pusat pemerintahannya berupa kantor asisten residen di sebelah utara alun-alun, membentuk sumbu utara-selatan dengan keraton atau kantor dagang,





18)Rapoport, A. (1983), Development, Culture Change, and Supportive Design, Habitat International, 7 (5/6), pp. 249-268.
19)Kunto, H. (1986), Semerbak Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia.
20)Handinoto (1992), Alun-alun Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra.
kantor pos, maupun penjara di sekeliling alun-alun. Intervensi dari institusi pemerintahan kolonial sebagai agen transformasi utama ini praktis merubah tatanan fisik dan spasial kawasan alun-alun dan merubah citra awal alun-alun pada masa tradisional Jawa.
          Pencitraan yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda ini ditujukan untuk
membentuk citra kekuasaan kolonial melalui kawasan terbuka sebagaimana citra kekuasaan Jawa yang terpancar dari tempat serupa.21) Pencitraan tersebut dilakukan dengan membangun berbagai bangunan dengan gaya arsitektur kolonial untuk kepentingan pemerintahan Belanda disekitar alun-alun. Bangunan-bangunan tersebut meliputi gereja, penjara, dan kantor asisten residen dimana didalamnya terjadi aktivitas-aktivitas dengan kultur kolonial sangat kuat yang jauh berbeda dengan kebudayaan Jawa pada masa itu. Pendirian berbagai bangunan dengan kultur dan gaya kolonial disekitar alun-alun tersebut, telah merubah tatanan fisik yang menandai teritori alun-alun sejak masa pra kolonial.
          Setelah masa kemerdekaan, terjadi penyerahan kekuasaan wilayah dari pemerintah kolonial ke pemerintahan Republik Indonesia. Hal tersebut juga berarti terjadi perubahan institusi sebagai agen transformasi yang bertanggung jawab atas kontrol terhadap seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk kawasan alun-alun sebagai bagian dari wilayahnya. Perbedaan tata nilai yang dianut oleh pemerintahan Republik Indonesia dan kolonial Belanda praktis akan mempengaruhi perkembangan kawasan alun-alun di tanah jawa pada periode ini.
          Handinoto melihat adanya pergeseran signifikan mengenai eksistensi alun-alun pasca kolonialisme, Pada awal abad ke 20, terjadi ‘westernisasi’ kota-kota di Nusantara. Kebudayaan ‘Indisch’, yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara, kelihatan menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa oleh para pendatang baru pada awal abad ke 20. Sejak awal abad ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa”.22)


21)Basundoro, P. (2009) Dua Kota Tiga Zaman, Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
22)Handinoto (1992), Alun-alun Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Handinoto juga mengungkapkan keprihatinannya,Sesudah kemerdekaan Indonesia nasib alun-alun kota bertambah parah lagi. Banyak pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan kota ragu-ragu atau bahkan tidak mengerti mau difungsikan untuk apa alun-alun ini. Banyak alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat olah raga sepak bola, tenis, basket, ada pula yang sekarang difungsikan sebagai taman kota. Bahkan banyak yang sekarang tidak jelas fungsinya, karena pusat kotanya sudah bergeser ke lain lokasi. Yang paling tragis lagi ada alun-alun kota yang diincar investor untuk dibeli karena letaknya yang strategis di pusat kota. Semuanya ini sebagai akibat belum adanya suatu konsensus budaya yang jelas secara nasional, untuk bisa dipakai sebagai pegangan dalam menangani alun-alun yang ada sekarang, sehingga wajar kalau timbul kebingungan dalam menangani pembangunannya. Jadi seperti apa yang dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap. Sesudah jaman pasca kolonial ini alun-alun kelihatan seperti ‘hidup segan matipun enggan”.23)
          Konsensus budaya yang belum jelas, ketidakmampuan pemerintah dalam membuat keputusan serta westernisasi dan arus modernisasi yang kian mengglobal makin menggilas orisinilitas alun-alun sebagai produk budaya warisan leluhur. Pemerintah sebagai institusi yang memiliki kontrol dan tanggung jawab terhadap hal ini, cenderung menganggap enteng dan dalam setiap kebijakannya tidak memperhatikan aspek-aspek kebudayaan sehingga tradisionalitas alun-alun dimutilasi. Akhirnya citra alun-alun yang bernuansa sakral berangsur-angsur menghilang dan tergantikan dengan budaya konsumerisme dan hedonisme belaka.
          Alun-alun yang sejatinya merupakan suatu bentuk keseimbangan kosmologis dalam tata budaya jawa, suatu bentuk spiritualitas budaya yang sakral dan dituakan, kini diterjang oleh nilai-nilai keduniawian yang tak memandang nilai-nilai kebudayaan sama sekali. B. Herry Priyono dalam bukunya Republik Tanpa Ruang Publik (2005) memberi peringatan akan dampak pergeseran makna


23) Ibid.
Alun-alun sebagai aktivitas ruang publik yang dinamis.ketika ruang publik telah menjelma menjadi komoditas komersial suatu masyarakat, maka pemaknaan ‘kewarganegaraan’ sebagai makhluk sosial, telah berganti menjadi pemaknaan bahwa masyarakat itu adalah konsumen belaka”.24)
          Manusia Indonesia yang sejak dahulu dapat menyaring dan memadukan budaya asli dengan budaya asing yang masuk, kini seakan-akan kehilangan kemagisannya. Budaya yang seharusnya menjadi mahkota kebanggaan suatu bangsa, kini dibuang mentah-mentah. Meskipun perkembangan zaman terus terjadi dan tidak dapat dihindari, seharusnya kesadaran akan budaya asli tetap dilestarikan dan beradaptasi luwes dengan modernisasi, westernisasi atau apapun yang dapat masuk dan merubah kedalaman suatu budaya.

3.    Aksiologi
          Sebagai inti dari pusat kota, alun-alun memiliki fungsi yang majemuk, meliputi fungsi administratif, ekonomis, sosial, kultural, dan pertahanan.25)  Selain sebagai tempat tamu keraton menunggu, alun-alun juga kerapkali digunakan sebagai sarana upacara keagamaan serta permainan rakyat seperti sodoran (pertandingan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul) pada waktu-waktu tertentu.26) Namun diatas segala fungsi tersebut, fungsi pemerintahan dan keagamaan merupakan fungsi yang dominan. Oleh karena itu melihat tata spasial dan perencanaannya yang sarat makna kosmologis, maka bagi masyarakat Jawa tradisional nilai kegunaan alun-alun lebih merupakan simbol kekuasaan, dan budaya yang bernuansa sakral.
Jo Santoso dalam Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa (2008), menjelaskan betapa pentingnya alun-alun karena menyangkut beberapa aspek. Pertama, alun-alun melambangkan ditegakkannya suatu sistem kekuasaan atas suatu wilayah tertentu, sekaligus menggambarkan tujuan dari harmonisasi antara


24)http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php?aid=345&coid=1&caid=24&auid=3 diakses pada tanggal 7 Oktober pukul 14.30.
25)Kunto, H. (1986), Semerbak Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia.
26) Handinoto (1992), Alun-alun Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra.
dunia nyata (mikrokosmos) dan universum (makrokosmos). Kedua, berfungsi sebagai tempat perayaan ritual atau keagamaan. Ketiga, tempat mempertunjukkan kekuasaan militer yang bersifat profan dan merupakan instrumen kekuasaan dalam mempraktekkan kekuasaan sakral dari sang penguasa.27)
Penjelasan di atas tentu saja masih harus ditambahkan bahwa keberadaan alun-alun berfungsi pula sebagai ruang publik terbuka dimana rakyat saling bertemu dan fungsi pengaduan rakyat kepada raja. Sebagai ruang publik, alun-alun adalah tempat pertemuan rakyat untuk bercakap-cakap, berdiskusi, melakukan pesta rakyat dll. Bahkan istilah Plaza yang saat ini menjadi ikon modernitas di setiap kota, disinyalir oleh Romo Mudji Sutrisno dalam bukunya, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace (2010) sebagai bentuk ruang publik yang telah mengalami pergeseran makna yang dahulunya adalah alun-alun.28)
Sebagai tempat pengaduan rakyat, alun-alun berfungsi sebagai tempat curhat dan protesnya masyarakat terhadap sebuah kebijakan pemerintahan dalam hal ini raja atau istana. Di alun-alun Yogyakarta pada zaman kolonial, tepat dimana berdirinya wringin kurung (pohon beringin yang dibatasi pagar) jika seseorang mengalami keberatan atau sebuah kebijakkan maka mereka akan duduk bersila seharian di sana dengan menggunakan tutup kepala putih dan pakaian putih. Tata cara ini disebut dengan pepe. Jika raja melihat keberadaan orang tersebut maka raja akan memerintahkan untuk membawa orang tersebut menghadap dan mengadukan persoalannya secara langsung.
Dalam buku Tahta Untuk Rakyat dikatakan, “Adanya cara ber-pepe ini menunjukkan bahwa pada zaman dulu sudah ada forum untuk memperjuangkan hak asasi manusia sehingga jelas itu bukan barang baru atau barang yang diimpor dari negara lain”.29)


27)Habraken, N. J. (1998) The Structure of The Ordinary, Form and Control in The Built Environment, Cambridge:MIT Press.
28)Handinoto (1992), Alun-alun Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra.
29)Manik, I. W. Y (2007) Pengaruh Demografi, Gaya Hidup, dan Aktivitas Terhadap Transformasi Tipo-Morfologi Hunian di Desa Bayung Gede Bali, Tesis Arsitektur, ITB: tidak diterbitkan.
          Bagai peribahasa “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, maka dapat kita tafsirkan, berbeda zaman berbeda pula kebudayaannya. Setiap zaman mengakibatkan perbedaan disana-sini dan zaman modern ikut serta dalam proses perubahan tersebut. Sementara itu, tradisionalitas sulit mempertahankan dirinya, alih-alih memadu kasih dengan kemodernan, tradisional justru menjadi bulan-bulanan dan digempur habis-habisan oleh kemodernan itu sendiri. Zaman yang serba sakral dan penuh mitos telah sirna, berganti zaman yang tidak memiliki batasan dan cara pendang yang alakadarnya. Fungsi alun-alun yang dianggap kuno telah benar-benar ditinggalkan, penataan ruang dan letaknya pun kini sudah berbeda. Namun demikian, alun-alun di zaman modern tetap memiliki fungsi tersendiri. Berbeda dengan alun-alun zaman tradisional yang lebih banyak difungsikan untuk pemerintahan dan ritual keagamaan, alun-alun zaman modern lebih difungsikan kepada hiburan dan sarana komersial, disamping juga digunakan sebagai ruang terbuka publik ataupun taman kota.
          Handinoto, Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra, mengatakan bahwa “Banyak alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat olah raga sepak bola, tenis, basket, ada pula yang sekarang difungsikan sebagai taman kota. Bahkan banyak yang sekarang tidak jelas fungsinya, karena pusat kotanya sudah bergeser ke lain lokasi. Yang paling tragis lagi ada alun-alun kota yang diincar investor untuk dibeli karena letaknya yang strategis di pusat kota”.30)
          Fungsi kegunaan alun-alun seperti yang dikatakan Handinoto ini dapat kita saksikan di kebanyakan alun-alun yang ada di kota-kota besar pulau jawa. Setiap akhir pekan misalnya, banyak dari alun-alun tersebut diramaikan oleh masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan olah raga seperti voly, basket, senam, tenis ataupun sekedar lari berkeliling alun-alun. Selain itu, jika dicermati lebih dalam, maka akan nampak kegiatan para pedagang yang menjajakan berbagai barang dagangannya. Mereka menjual berbagai kebutuhan untuk para pengunjung dan



30)Handinoto (1992), Alun-alun Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra.
turut memainkan perannya sebagai aktor yang menjalankan fungsi perekonomian di dalam komunitas alun-alun. Kemudian, bila kita bergeser sedikit dan menyaksikan bangunan-bangunan yang berada disekeliling alun-alun, maka kita dapat menemui komunitas ekonomi dalam skala yang lebih besar. Tidak sedikit restoran-restoran ternama dan mall-mall megah mengelilingi tanah luas yang disebut alun-alun ini, mereka juga turut memposisikan diri sebagai salah satu pengisi fungsi alun-alun sebagai sarana komersial, yang berjalan beriringan dengan para pedagang sebagai aktor yang lebih kecil.  
          Sebenarnya banyak kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan alun-alun. Namun, kebanyakan dari kegiatan-kegiatan itu ditujukan untuk hiburan bagi masyarakat. Pada saat memperingati hari kemerdekaan Indonesia misalnya, alun-alun digunakan sebagai tempat penyelenggaraan berbagai lomba guna memperingati hari yang sakral itu. Selain itu, upacara kemerdekaan pun juga kebanyakan dilakukan di alun alun. Itu masih belum termasuk konser musik yang sering diadakan dalam beberapa bulan sekali dan beragam festival dan kegiatan-kegiatan penting lainnya. Meskipun fungsi alun-alun telah banyak mengalami pergeseran, namun masyarakat cenderung nyaman dan apatis dengan fenomena tersebut. Mereka tidak memperdulikan budaya lama yang dibawa oleh leluhur. Bila pergeseran fungsi alun-alun ini tidak segera ditemukan obatnya, maka alun-alun hanya akan menjadi nama yang memiliki kekosongan pemaknaan.     










           
BAB 4. PENUTUP

4.1    Kesimpulan
Bila kita analisis lebih dalam alun-alun bukanlah hanya sekedar tanah yang luas semata namun lebih dari itu, alun-alun merupakan suatu kesatuan ruang antara pemerintah, masyarakat, serta kebudayaan yang menyertainya. Ontologi memberikan kita pemahaman bahwa alun alun tidak dapat dipisahkan dari bangunan-bangunan pemerintahan yang mengelilinginya. Sementara itu lebih kompleks lagi, secara epistemologi telah kita ketahui bagaimana pergeseran alun-alun yang semakin meresahkan dimana institusi pemerintah menjadi salah satu agen yang memberikan dampak terhadap perkembangan alun-alun melalui kebijakan-kebijakan yang mereka ambil. Kemudian melalui aksiologi, kita dapat mengerti nilai kegunaan dari alun-alun itu sendiri, yang kemudian dapat kita ambil hikmah dan pembelajaran darinya.

4.2   Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan antara lain:
1.      Didorong untuk terbentuknya suatu konsensus budaya secara nasional menyangkut alun-alun itu sendiri.
2.      Kebijakan pemerintah agar lebih memperhatikan bangunan-bangunan budaya peninggalan masa lalu, seperti alun-alun.
3.      Meningkatkan kesadaran akan kehadiran alun-alun sebagai produk budaya warisan leluhur. 
.







DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Filsafat, Ontologi, Aksiologi, Epistimologi
Web. http://sciencebooth.com/2013/05/28/filsafat-ontologi-aksiologi, diakses 7 Oktober 2014 pukul 09.00.
Basundoro, P. (2009) Dua Kota Tiga Zaman, Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Habraken, N. J. (1998) The Structure of The Ordinary, Form and Control in The Built Environment, Cambridge:MIT Press.
Handinoto (1992), Alun-alun Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra.
KamusBesar. 2014. Deskripsi dari Fenomena.
          Web. http://www.kamusbesar.com/10894/fenomena, diakses 7 oktober 2014 pada pukul 08.10.
Khairuddin H. 1995, Filsafat Kota Yogyakarta, Yogyakarta: Liberty, hal 53.
Kunto, H. (1986), Semerbak Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia.
Manik, I. W. Y (2007) Pengaruh Demografi, Gaya Hidup, dan Aktivitas Terhadap Transformasi Tipo-Morfologi Hunian di Desa Bayung Gede Bali, Tesis Arsitektur, ITB: tidak diterbitkan.
Moerdjoko. (2005) Alun-Alun Ruang Publik Bersejarah dan Konservasi, Jakarta:Univ Trisakti.
Priyono, B. Herry. 2014. Rakyat dalam Pusaran Globalisasi.
Web.http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php?aid=345&coid=1&caid=24&auid=3, diakses 7 Oktober 2014 pukul 14.30.
Rapoport, A. 2001, Theory, Culture, and Housing, Journal of Housing Theory and Society, 17:4, pp. 145-165.
Rapoport, A. (1983), Development, Culture Change, and Supportive Design, Habitat International, 7 (5/6), pp. 249-268.
Setiawan, Ebta. 2014, alun-alun.
          Web. http://kbbi.web.id/alun-alun, diakses 30 september 2014 pukul 13.15.
Setiawan, Ebta. 2014, Fenomena.
Web. http://kbbi.web.id/fenomena, diakses 7 oktober 2014 pukul 08.06.
Setiawan, Ebta. 2014, modern.
          Web. http://kbbi.web.id/modern, diakses 7 oktober 2014 pukul 08.16.
Setiawan, Ebta. 2014, tradisional.
Web. http://kbbi.web.id/tradisional, diakses 7 oktober 2014 pukul 08.06.
Sudino, Antariksa. 2014. Pelestarian Bangunan Kuno Bersejarah di Kota Malang. Web. http://www.academia.edu/7762320/Pelestarian_Bangunan-Kuno _Bersejarah _di_Kota_Malang, diakses 7 oktober pukul 09.08



DOWNLOAD di sini


                                                                                                                                                            
Share:
Lokasi: Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

 Klik Enter untuk mencari
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh . Shalom aleichem . Om swastiastu . Namo sang hyang adi buddhaya. SELAMAT DATANG DI BLOG OPINI MAHASISWA AN

About

Blog "Opini Mahasiswa AN14" ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah Prodi AN FISIP UNEJ. Semoga bermanfaat

Time & Date

Translate

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Quotes

“Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan itu Anda dapat mengubah dunia” – Nelson Mandela

“Seseorang yang berhenti belajar adalah orang lanjut usia, meskipun umurnya masih remaja. Seseorang yang tidak pernah berhenti belajar akan selamanya menjadi pemuda” -Henry Ford

“Berikan seorang pria semangkuk nasi dan Anda akan memberinya makanan untuk sehari. Ajarkan seorang pria memelihara padi dan Anda akan memberinya makanan seumur hidup” – Confusius

“Pembelajaran tidak didapat dengan kebetulan. Ia harus dicari dengan semangat dan disimak dengan tekun” – Abigail Adams

“Agama tanpa ilmu adalah buta. Ilmu tanpa agama adalah lumpuh.” – Albert Einstein

“Belajar memang bukan satu-satunya tujuan hidup kita. Tetapi kalau itu saja kita tidak sanggup atasi, lantas apa yang akan kita capai” – Shim Shangmin

“Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan” – Mario Teguh

“Yang hebat didunia ini bukanlah tempat dimana kita berada, Melainkan arah yang kita tuju.” - Oliver Wendell Holmes

“Engkau tak dapat meraih ilmu kecuali dengan enam hal yaitu cerdas, selalu ingin tahu, tabah, punya bekal dalam menuntut ilmu, bimbingan dari guru dan dalam waktu yang lama.” - Ali bin Abi Thalib

“Jangan pernah meragukan keberhasilan Sekelompok kecil orang yang bertekad mengubah dunia, Karena hanya kelompok seperti itulah yang pernah berhasil melakukannya” - Margaret Mead

“Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Pendidikan adalah hidup itu sendiri.“ - John Dewey

“Yang penting bukan bagaimana caramu hidup melainkan hidup siapa yang kamu ubah dengan hidupmu. Seorang majikan bisa memberitahumu apa yang ia harapkan darimu Tapi seorang guru membangkitkan pengharapanmu sendiri” - Patricia Neal

“Bantinglah otak untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya guna mencari rahasia besar yang terkandung di dalam benda besar yang bernama dunia ini, tetapi pasanglah pelita dalam hati sanubari, yaitu pelita kehidupan jiwa.” - Al- Ghazali

“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.” - Soekarno

“Allah mengangkat orang-orang beriman di antara kamu dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat.” - (al-Mujadalah : 11)

“Keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat.” - Winston Chuchill

“Bila orang mulai dengan kepastian, dia akan berakhir dengan keraguan. Jika orang mulai dengan keraguan, dia akan berakhir dengan kepastian.” - Francis Bacon

“Nalar hanya akan membawa anda dari A menuju B, namun imajinasi mampu membawa anda dari A ke manapun.” - Albert Einstein

“Tuntulah ilmu pengetahuan itu mulai dari buaian, sampai keliang lahat.” - (Hadits)

“Bukanlah kebaikan itu dengan banyaknya harta dan anak, tetapi dengan banyaknya ilmu, besarnya kesabaran, mengungguli orang lain dalam ibadahnya, apabila berbuat kebaikan ia bersyukur dan bila berbuat salah (dosa) ia beristighfar kepada Allah.” - Ali bin Abi Thalib

“Dengan kecerdasan jiwalah manusia menuju arah kesejahteraan.” - Ki Hajar Dewantara


jadwal-sholat