FENOMENA PERGESERAN FUNGSI ALUN–ALUN PADA MASA
TRADISIONAL DAN MODERN( SEBUAH KAJIAN SECARA ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN
AKSIOLOGIS )
MAKALAH
Oleh
DIMAS BASKORO 140910201042
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Peradaban silih berganti, jatuh dan bangun bagaikan ombak yang
menggulung lautan. Waktu pun terus berjalan, menyisakan puing-puing kemegahan
masa lalu bagi negeri yang menakjubkan ini. Indonesia adalah negeri yang kaya,
tempat bersemayamnya masa lalu yang megah. Namun demikian, kemegahan itu telah runtuh
dan hanya menyisakan sedikit arang dan api yang terus menggerogoti. Arang
merupakan perwujudan budaya manusia Indonesia, sementara api adalah perwujudan
modernisasi global yang kian menggerus budaya bangsa.
Budaya merupakan suatu sistem yang didalamnya mencakup sistem nilai dan
kepercayaan serta ekspresi budaya lain seperti gaya hidup dan preferensi yang
mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap segala sesuatu.1) Ekspresi-ekspresi budaya tersebut
akan memengaruhi kebutuhan-kebutuhan manusia akan ruang dan selanjutnya
termanifestasikan dalam cara mereka membangun, menata ruang, serta berprilaku
dalam penggunaannya.
Beberapa unsur dari budaya misalnya cara pandang dan sistem nilai dapat
berubah seiring perkembangan faktor-faktor eksternal dari lingkungan luar. Modernisasi
sebagai salah satu pembawa faktor eksternal memiliki andil besar terutama
terhadap masuknya unsur budaya asing yang bercampur dengan nilai budaya awal
maupun membentuk suatu sistem budaya yang baru. Modernisasi selama berabad-abad
cenderung menjadi agen perubahan, dimana budaya awal secara konsisten
berkembang dan sedikit demi sedikit meninggalkan sifat aslinya.
Alun-alun adalah salah satu produk budaya asli masyarakat Jawa yang kini
sedang mengalami pergeseran fungsi. Pergeseran fungsi Alun-alun ini disebabkan
oleh modernisasi yang kian membumi. Pemerintah maupun masyarakat sebagai aktor
utama cenderung memandang Alun-alun sebagai sarana hiburan dan komersial
semata. Peran dan fungsi Alun-alun seakan-akan dikerdilkan. Alun-alun
1)Rapoport, A. 2001, Theory, Culture, and Housing, Journal
of Housing Theory and Society, 17:4,
pp. 145-165
yang pada
mulanya merupakan sarana untuk ritual keagamaan serta pusat pemerintahan
(keraton) yang sakral, kini hanya dianggap sebagai tanah lapang yang tidak
punya kesan spiritual. Padahal dalam tata kota masyarakat Jawa tradisional,
keraton dan alun-alunnya merupakan pusat orientasi perkembangan kota yang
direncanakan dengan memperhatikan keseimbangan antara makrokosmos dan
mikrokosmos sebagai pengejawantahan dari konsep kosmologis. Tatanan spasial
kota-kota tradisional Jawa menunjukkan alun-alun berada pada tengah kota
sebagai lambang dari pusat jagat raya dan di sisinya berdiri komponen-komponen
inti dari kehidupan masyarakat yang meliputi pusat pemerintahan yang berdiri di
sebelah selatan alun-alun, serta masjid agung di sebelah baratnya.2)
Studi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis Alun-alun dari
persepktif Ontologi guna mengetahui apa sebenarnya Alun-alun itu, Epistemologi
bagaiamana fungsi Alun-alun dapat bergeser, dan Aksiologi untuk apa Alun-alun
itu dibentuk. Selain itu studi ini juga akan memaparkan bagaimana fungsi alun –
alun dapat bergeser yang pada awalnya sebagai sarana ritual keagamaan dan pusat
pemerintahan hingga saat ini menjadi tempat hiburan dan sarana komersial. Lebih
lanjut analisis dilakukan untuk mengetahui apa saja fungsi Alun-alun yang telah
bergeser dari zaman Tradisional hingga zaman modern.
1.2
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang muncul dalam kajian ini antara lain
a.
Apa
sebenarnya hakikat alun-alun itu (Ontologis) ?
b.
Bagaimana
fungsi alun-alun dapat mengalami pergeseran (Epistemologis) ?
c.
Untuk
apa alun-alun itu dan apa saja nilai kegunaannya (Aksiologis) ?
2)Moerdjoko. (2005) Alun-Alun Ruang Publik Bersejarah
dan Konservasi, Jakarta:Univ Trisakti
1.3
Tujuan
Adapun
tujuan yang menyertai adalah sebagai berikut ;
a.
Mengetahui
dan menganalisis apa sebenarnya hakikat alun-alun itu menggunakan perspektif
ontologi
b.
Mengetahui
dan menganalisis bagaimana fungsi alun-alun dapat mengalami pergeseran
menggunakan perspektif Epistemologi
c.
Mengetahui
dan menganalisis apa saja nilai kegunaan alun-alun menggunakan perspektif Aksiologi
BAB
2. KAJIAN PUSTAKA
2.1
Fenomena
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fenomena
diartikan sebagai hal-hal yang dinikmati oleh panca indra dan dapat ditinjau
secara ilmiah.
3)
Fenomena juga diartikan sebagai
berikut 4) :
a.
Fenomena adalah hal-hal yang dapat
disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah
(seperti fenomena alam) atau gejala. Contoh : Gerhana adalah salah satu -- ilmu
pengetahuan
b.
Fenomena diartikan sebagai sesuatu yg
luar biasa atau keajaiban. Contoh : Sementara masyarakat tidak percaya akan
adanya pemimpin yg berwibawa, tokoh itu merupakan – tersendiri
c.
Fenomena diartikan sebagai fakta dan
kenyataan. Contoh : Peristiwa itu merupakan -- sejarah yg tidak dapat diabaikan.
2.2
Alun-Alun
a.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Alun-alun adalah “ tanah
lapang yg luas di muka keraton atau di muka tempat kediaman resmi bupati, dsb”.5)
b.
Menurut
H Kunto, “Alun-alun tipologinya berada satu sumbu dengan keraton membentuk
garis lurus dengan laut selatan dan gunung yang dianggap sakral. Posisi keraton
ada di sebelah selatan Alun-alun sedangkan masjid agung ada di sebelah
baratnya. Prinsip tatanan spasial ini telah ada sejak masa kerajaan Hindu
dimana Alun-alun diletakkan”.6)
3)http://kbbi.web.id/fenomena,
diakses 7 oktober 2014 pukul 08.06
4)http://www.kamusbesar.com/10894/fenomena,
diakses 7 oktober 2014 pada pukul 08.10
6)Kunto, H. (1986), Semerbak
Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia
c.
Alun-alun
menurut KRT. Puspodiningrat, “berasal dari kata alun gelombang. Gelombang yang
mengayun-ayunkan hidup manusia di dalam samudra masyarakat. Gelombang ini
digerakkan oleh angin (beringin) dari segala penjuru yang tumbuh disekeliling
alun-alun. Angin ini ibarat berbagai aliran yang membawa pengaruh kepada
manusia, misalnya ideologi, agama, science, kepercayaan dan sebagainya, Sedangkan
beringin yang ada di tengah alun-alun yang berjumlah dua buah menggambarkan
kesatuan antara mikrokosmos dan makrokosmos...”.7)
2.3
Tradisional
Menurut
Kamus Besar
Bahasa Indonesia, tradisional
diartikan sebagai sikap dan cara berpikir
serta bertindak yg selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara
turun-temurun.8)
2.4
Modern
Menurut
Kamus Besar
Bahasa Indonesia, modern
diartikan sebagai sikap dan cara berpikir
serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.9)
2.5 Metode yang Dipakai 10)
1. Ontologi
Menurut Amsal Bakhtiar yang dikutip dalam bukunya
filsafat agama, ontologi berasal dari kata ontos, sesuatu yang berwujud.
Ontologi adalah teori atau ilmu tentang wujud, tentang hakikat yang ada.
Ontologi tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada logika
semata-mata. Jadi Ontologi
7)Khairuddin
H. 1995, Filsafat Kota Yogyakarta,
Yogyakarta: Liberty, hal 53.
8)http://kbbi.web.id/tradisional,
diakses 7 oktober 2014 pukul 08.06.
9)http://kbbi.web.id/modern,
diakses 7 oktober 2014 pukul 08.16.
10)http://sciencebooth.com/2013/05/28/filsafat-ontologi-aksiologi,
diakses 7 Oktober 2014 pukul 09.00.
Jadi Ontologi merupakan suatu usaha untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan supaya para intelektual dapat mendeskripsikan sifat-sifat umum
dan ajaran akan keberadaan atau ada, kenyataan (rill). Ontologi dalam kaitannya
dengan filsafat yaitu, kemampuan pemikiran (pola pikir) dan kajian yang
membahas hakikat atau kebenaran sesuatu yang ada. Menurut Jujun S. Suriasimanti
yang dikutip oleh amsal bakhtiar mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin
kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Sehingga kebenaran akan keobyektifitasan
tersebut dapat diketahui . Ontologi erat kaitannya dengan hakikat yang
menerjemahkan wujud hakiki apa yang dikajinya ada (objek), baik dalam bentuk
fisik, jasmani, konkret ataupun rohani (abstrak). Jadi, ontologi dikaitkan dengan filsafat sebagai
pemahaman yang luas dari arti penjelasan hakikat pengetahuan.
2. Epistemologi
Epistemologi sering juga disebut dengan teori
pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistimologi
berasal dari kata yunani episteme, yang artinya pengetahuan, dan logos yang
artinya ilmu atau teori. Jadi, epistimologi dapat didefenisikan sebagai cabang
filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya
(validitas) pengetahuan (A. Susanto, 2011 : 102). Epistemologi sering juga
disebut teori pengetahuan (theory of knowledge) (H.A.Fuad Hasan, 2010 : 225),
yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang
ingin dipikirkan. Epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang pengetahuan. Dalam ilmu filsafat epistemologi dikenal sebagai sub
sistem dari filsafat itu sendiri. Epistomologi yang menghasilkan teori ilmu
pengetahuan yang membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari
objek yang ingin dipikirakan.
3. Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari perkataan axios
(yunani) yang berarti nilai, dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi,
aksiologi adalah teori tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu kepada permasalahan etika dan
estetika. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai,
yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi juga
menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan
ilmu ke dalam praktis (A. Susanto, 2011 : 116). Menurut John Sinclair, dalam
lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti
politik, sosial dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan,
rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengadilan terhadap satu intitusi
dapat wujud (Suwardi Endraswara, 2012 : 146) sedangkan Jujun S.Suriasumantri
mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh.
BAB
3. PEMBAHASAN
Pergeseran Fungsi Alun-alun
dari Tradisional Menuju Modern Ditinjau dari Beberapa Perspektif Filsafat
1.
Ontologi
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia Alun-alun adalah “tanah lapang yg luas di muka keraton atau di muka tempat kediaman resmi
bupati, dsb”.11) Pernyataan
ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Van Romondt yang menjelaskan bahwa
“pada dasarnya alun-alun itu merupakan halaman depan
rumah, namun dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa berarti raja, bupati, wedana dan camat bahkan kepala desa yang
memiliki halaman paling luas di depan Istana atau pendopo tempat kediamannya,
yang dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal
pemerintahan militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan”.12)
Dari
kedua pernyataan tersebut dapat kita simpulkan bahwa alun-alun adalah tanah
lapang yang luas dan berlokasi di depan pusat pemerintahan. Namun, apakah
dengan demikian dapat diartikan semua tanah lapang yang luas namun tidak berada
di depan pusat pemerintahan bukanlah alun-alun?. Sebelum menjawab pertanyaan
tersebut, mari kita simak pernyataan Thomas
Nix yang menjelaskan
bahwa “alun-alun merupakan lahan terbuka dan terbentuk
dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal ini,
bangunan gedung merupakan titik awal dan merupakan hal yang utama bagi
terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang dibiarkan
tersisa dan berupa alun-alun, hal demikian bukan merupakan alun-alun yang sebenarnya.
Jadi alun-alun bisa di desa, kecamatan, kota maupun pusat kabupaten”.13) Dari pernyataan Thomas Nix tersebut kita dapat
memahami bila alun-alun yang sebenarnya adalah
kesatuan suatu tanah yang luas dengan pemerintahan didalamnya. Artinya
alun-alun tidak dapat dipisahkan dengan pemerintahan.
12)Kunto, H. 1986, Semerbak
Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia.
13)http://www.academia.edu/7762320/Pelestarian_Bangunan-Kuno_Bersejarah_di_Kota_Malang,
diakses 7 oktober pukul 09.08.
Bangunan
gedung seperti yang dijelaskan oleh Thomas Nix merupakan perwujudan
pemerintahan yang menjadi titik awal serta hal yang utama bagi terbentuknya
alun-alun. Alun-alun merupakan salah satu konsep ruang terbuka publik yang
dikenal oleh masyarakat Jawa Tradisional. Konsep spasial alun-alun sebagai
bagian dari komplek keraton atau pusat pemerintahan telah dikenal sejak abad
13-18 M, tepatnya pada masa kerajaan Majapahit hingga Mataram.14) Pada masa itu, budaya masyarakat berupa
kepercayaan kosmologis yang sangat kuat memberikan pengaruh besar dalam
perencanaan fisik dan spasial tata ruang termasuk juga alun-alun sebagai ruang
publik utama.
Dalam
tata kota masyarakat Jawa tradisional, keraton dan alun-alunnya merupakan pusat
orientasi perkembangan kota yang direncanakan dengan memperhatikan keseimbangan
antara makrokosmos dan mikrokosmos sebagai pengejawantahan dari konsep
kosmologis. Tatanan spasial kota-kota tradisional Jawa menunjukkan alun-alun
berada pada tengah kota sebagai lambang pusat jagat raya dan di sisinya berdiri
komponen-komponen inti dari kehidupan masyarakat yang meliputi pusat
pemerintahan yang berdiri di sebelah selatan alun-alun, serta masjid agung di
sebelah baratnya.15) Alun-alun
merupakan titik pertemuan dari jalan-jalan utama yang menghubungkan keraton
dengan bagian barat, utara, dan timur dari kota, sementara kawasan sebelah
selatan keraton merupakan daerah tempat tinggal keluarga Raja dan para
pengikutnya. Keraton sebagai pusat pemerintahan seolah-olah “memangku”
alun-alun dengan dengan keberadaan pohon beringin yang berada di
tengah-tengahnya satu sumbu dengan laut pantai selatan dan gunung di sebelah
utaranya.16) Menilik tata spasial dan perencanaannya yang sarat
makna kosmologis, makna dan fungsi alun-alun bagi masyarakat Jawa tradisional
lebih merupakan simbol kekuasaan, dan budaya yang bernuansa sakral.
14)Handinoto
(1992), Alun-alun Sebagai Identitas Kota
Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars September 1992, Surabaya:
Universitas Kristen Petra.
15)Moerdjoko. (2005) Alun-Alun Ruang Publik Bersejarah
dan Konservasi, Jakarta:Univ Trisakti.
16)Ibid.
2. Epistemologi
Sebagai salah satu bentuk ruang publik
yang dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat, keberadaan dan kondisi alun-alun
dari masa ke masa tak dapat dilepaskan dari peran institusi pemerintah sebagai agen
yang bertanggung jawab atas kontrol terhadapnya. Nilai-nilai yang dianut
oleh institusi pemerintah beserta tujuan yang hendak dicapainya secara langsung
mempengaruhi mereka dalam membuat berbagai kebijakan baik politik, ekonomi,
maupun sosial budaya. Selanjutnya penerapan dari kebijakan yang dikeluarkan dapat
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi arah perencanaan dan
perkembangan kota termasuk kawasan alun-alun sebagai ruang publik. Kebijakan
institusi tersebut dapat berupa undang-undang, maupun segala peraturan baik
yang tertulis maupun tidak tertulis. Indonesia telah mengalami beberapa
pergantian institusi pemerintahan diantaranya masa kolonial, kemerdekaan, dan
era reformasi. Perbedaan budaya dan tata nilai yang dianut oleh setiap
institusi pemerintahan dengan kekhasanya masing-masing akan mempengaruhi
transformasi yang terjadi pada kawasan alun-alun khususnya di tanah jawa.
Alexander
(1987) seperti dikutip oleh Manik menyatakan bahwa proses transformasi pada
lingkungan dapat berjalan melalui perencanaan ataupun tidak dengan tak menutup
terjadinya penyimpangan. Proses transformasi tersebut terjadi secara sedikit
demi sedikit dan berkesinambungan, sedangkan waktu dimulai dan berakhirnya
sangat dipengaruhi oleh latar belakang proses terjadinya.17) Berdasarkan teori
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa proses transformasi fisik pada kawasan
alun-alun kota di tanah jawa terjadi berdasarkan perencanaan yang dilakukan
oleh institusi yang memegang kontrol atas alun-alun. Sedangkan satu masa
pemerintahan dapat diidentikkan dengan berlangsungnya sebuah periode proses
transformasi fisik pada alun-alun. Ketika satu masa pemerintahan berakhir, maka
berakhirlah sebuah periode proses transformasi, namun merupakan awal dari
periode transformasi berikutnya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
17)Manik, I. W. Y (2007) Pengaruh Demografi, Gaya Hidup, dan Aktivitas Terhadap Transformasi
Tipo-Morfologi Hunian di Desa Bayung Gede Bali, Tesis Arsitektur, ITB:
tidak diterbitkan.
dibawa oleh institusi atau yang berkuasa pada masa
itu. Dengan demikian, transformasi fisik dan spasial pada kawasan alun-alun sejak
saat dibangunnya hingga sekarang merupakan rangkaian dari proses yang terjadi
secara berkesinambungan.
Transformasi
tidak berlangsung secara spontan dan menyeluruh. Karakter transformasi suatu
lingkungan sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial budaya. Transformasi itu
sendiri memiliki bagian-bagian dari sistem budaya yang mudah terpengaruh dan
ada yang merupakan inti yang cenderung bertahan. Dalam hal ini unsur yang
bersifat fisik cenderung lebih mudah mengalami transformasi, sedangkan yang
bersifat keyakinan dan kebiasaan akan cenderung bertahan.18)
Sebagai
inti dari pusat kota, alun-alun memiliki fungsi yang majemuk, meliputi fungsi
administratif, ekonomis, sosial, kultural, dan pertahanan.19) Selain sebagai tempat
tamu keraton menunggu, alun-alun juga kerapkali digunakan sebagai sarana
upacara keagamaan serta permainan rakyat seperti sodoran (pertandingan diatas
kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul) pada waktu-waktu tertentu.20) Namun diatas segala fungsi tersebut, fungsi pemerintahan dan keagamaan
merupakan fungsi yang dominan. Oleh karena itu melihat tata spasial dan
perencanaannya yang sarat makna kosmologis, maka bagi masyarakat Jawa
tradisional makna alun-alun lebih merupakan simbol kekuasaan, dan budaya yang
bernuansa sakral.
Institusi
Kolonial Belanda yang masuk pada periode pemerintahan berikutnya di Jawa ingin
memanfaatkan citra kekuasaan yang muncul di kawasan alun-alun dengan membangun
pusat pemerintahannya di tempat serupa. Belanda membangun pusat pemerintahannya
berupa kantor asisten residen di sebelah utara alun-alun, membentuk sumbu
utara-selatan dengan keraton atau kantor dagang,
18)Rapoport, A. (1983), Development, Culture Change, and
Supportive Design, Habitat International, 7 (5/6),
pp. 249-268.
19)Kunto, H.
(1986), Semerbak Bunga di Bandung Raya,
Bandung: Granesia.
20)Handinoto (1992),
Alun-alun Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur
18/Ars September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra.
kantor pos, maupun
penjara di sekeliling alun-alun. Intervensi dari institusi pemerintahan kolonial
sebagai agen transformasi utama ini praktis merubah tatanan fisik dan spasial
kawasan alun-alun dan merubah citra awal alun-alun pada masa tradisional Jawa.
Pencitraan
yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda ini ditujukan untuk
membentuk citra kekuasaan kolonial melalui kawasan
terbuka sebagaimana citra kekuasaan Jawa yang terpancar dari tempat serupa.21) Pencitraan tersebut dilakukan dengan membangun berbagai bangunan dengan
gaya arsitektur kolonial untuk kepentingan pemerintahan Belanda disekitar
alun-alun. Bangunan-bangunan tersebut meliputi gereja, penjara, dan kantor
asisten residen dimana didalamnya terjadi aktivitas-aktivitas dengan kultur
kolonial sangat kuat yang jauh berbeda dengan kebudayaan Jawa pada masa itu. Pendirian
berbagai bangunan dengan kultur dan gaya kolonial disekitar alun-alun tersebut,
telah merubah tatanan fisik yang menandai teritori alun-alun sejak masa pra
kolonial.
Setelah
masa kemerdekaan, terjadi penyerahan kekuasaan wilayah dari pemerintah kolonial
ke pemerintahan Republik Indonesia. Hal tersebut juga berarti terjadi perubahan
institusi sebagai agen transformasi yang bertanggung jawab atas kontrol
terhadap seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk kawasan alun-alun sebagai
bagian dari wilayahnya. Perbedaan tata nilai yang dianut oleh pemerintahan
Republik Indonesia dan kolonial Belanda praktis akan mempengaruhi perkembangan
kawasan alun-alun di tanah jawa pada periode ini.
Handinoto melihat adanya pergeseran
signifikan mengenai eksistensi alun-alun pasca kolonialisme, Pada awal abad ke 20, terjadi ‘westernisasi’
kota-kota di Nusantara. Kebudayaan ‘Indisch’, yang pada abad ke 19 berkembang
subur di Nusantara, kelihatan menghilang,
disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa oleh para pendatang baru pada
awal abad ke 20. Sejak awal abad ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya
alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa”.22)
21)Basundoro, P. (2009) Dua Kota Tiga Zaman, Surabaya
dan Malang Sejak Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
22)Handinoto (1992), Alun-alun
Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars
September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra.
Handinoto
juga mengungkapkan keprihatinannya, “Sesudah kemerdekaan Indonesia nasib alun-alun kota bertambah parah
lagi. Banyak pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan kota ragu-ragu atau
bahkan tidak mengerti mau difungsikan untuk apa alun-alun ini. Banyak alun-alun
yang sekarang digunakan untuk tempat olah raga sepak bola, tenis, basket, ada
pula yang sekarang difungsikan sebagai taman kota. Bahkan banyak yang sekarang
tidak jelas fungsinya, karena pusat kotanya sudah bergeser ke lain lokasi. Yang
paling tragis lagi ada alun-alun kota yang diincar investor untuk dibeli karena
letaknya yang strategis di pusat kota. Semuanya ini sebagai akibat belum adanya
suatu konsensus budaya yang jelas secara nasional, untuk bisa dipakai sebagai
pegangan dalam menangani alun-alun yang ada sekarang, sehingga wajar kalau
timbul kebingungan dalam menangani pembangunannya. Jadi seperti apa yang
dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola tradisional, tapi
belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap. Sesudah jaman pasca
kolonial ini alun-alun kelihatan seperti ‘hidup segan matipun enggan”.23)
Konsensus
budaya yang belum jelas, ketidakmampuan pemerintah dalam membuat keputusan
serta westernisasi dan arus modernisasi yang kian mengglobal makin menggilas
orisinilitas alun-alun sebagai produk budaya warisan leluhur. Pemerintah sebagai
institusi yang memiliki kontrol dan tanggung jawab terhadap hal ini, cenderung
menganggap enteng dan dalam setiap kebijakannya tidak memperhatikan aspek-aspek
kebudayaan sehingga tradisionalitas alun-alun dimutilasi. Akhirnya citra
alun-alun yang bernuansa sakral berangsur-angsur menghilang dan tergantikan
dengan budaya konsumerisme dan hedonisme belaka.
Alun-alun yang sejatinya merupakan suatu bentuk
keseimbangan kosmologis dalam tata budaya jawa, suatu bentuk spiritualitas
budaya yang sakral dan dituakan, kini diterjang oleh nilai-nilai keduniawian
yang tak memandang nilai-nilai kebudayaan sama sekali. B.
Herry Priyono dalam bukunya Republik Tanpa Ruang Publik (2005) memberi peringatan akan
dampak pergeseran makna
23) Ibid.
Alun-alun
sebagai aktivitas ruang publik yang dinamis. “ketika
ruang publik telah menjelma menjadi komoditas komersial suatu masyarakat, maka
pemaknaan ‘kewarganegaraan’ sebagai makhluk sosial, telah berganti menjadi
pemaknaan bahwa masyarakat itu adalah konsumen belaka”.24)
Manusia
Indonesia yang sejak dahulu dapat menyaring dan memadukan budaya asli dengan
budaya asing yang masuk, kini seakan-akan kehilangan kemagisannya. Budaya yang
seharusnya menjadi mahkota kebanggaan suatu bangsa, kini dibuang mentah-mentah.
Meskipun perkembangan zaman terus terjadi dan tidak dapat dihindari, seharusnya
kesadaran akan budaya asli tetap dilestarikan dan beradaptasi luwes dengan
modernisasi, westernisasi atau apapun yang dapat masuk dan merubah kedalaman
suatu budaya.
3. Aksiologi
Sebagai inti dari pusat
kota, alun-alun memiliki fungsi yang majemuk, meliputi fungsi administratif,
ekonomis, sosial, kultural, dan pertahanan.25) Selain sebagai tempat tamu keraton menunggu, alun-alun
juga kerapkali digunakan sebagai sarana upacara keagamaan serta permainan
rakyat seperti sodoran (pertandingan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang
ujungnya tumpul) pada waktu-waktu tertentu.26) Namun diatas segala fungsi tersebut, fungsi pemerintahan dan keagamaan
merupakan fungsi yang dominan. Oleh karena itu melihat tata spasial dan
perencanaannya yang sarat makna kosmologis, maka bagi masyarakat Jawa
tradisional nilai kegunaan alun-alun lebih merupakan simbol kekuasaan, dan budaya
yang bernuansa sakral.
Jo Santoso dalam Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa
(2008), menjelaskan betapa pentingnya alun-alun karena menyangkut beberapa
aspek. Pertama, alun-alun melambangkan ditegakkannya suatu sistem kekuasaan
atas suatu wilayah tertentu, sekaligus menggambarkan tujuan dari harmonisasi
antara
24)http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php?aid=345&coid=1&caid=24&auid=3
diakses pada tanggal 7 Oktober pukul 14.30.
25)Kunto, H. (1986), Semerbak
Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia.
26) Handinoto
(1992), Alun-alun Sebagai Identitas Kota
Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars September 1992, Surabaya:
Universitas Kristen Petra.
dunia nyata (mikrokosmos) dan universum (makrokosmos).
Kedua, berfungsi sebagai tempat perayaan ritual atau keagamaan. Ketiga, tempat
mempertunjukkan kekuasaan militer yang bersifat profan dan merupakan instrumen
kekuasaan dalam mempraktekkan kekuasaan sakral dari sang penguasa.27)
Penjelasan di atas tentu saja masih harus ditambahkan bahwa keberadaan
alun-alun berfungsi pula sebagai ruang publik terbuka dimana rakyat saling
bertemu dan fungsi pengaduan rakyat kepada raja. Sebagai ruang publik,
alun-alun adalah tempat pertemuan rakyat untuk bercakap-cakap, berdiskusi,
melakukan pesta rakyat dll. Bahkan istilah Plaza yang saat ini menjadi ikon
modernitas di setiap kota, disinyalir oleh Romo Mudji Sutrisno dalam bukunya,
Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace
(2010) sebagai bentuk ruang publik yang telah mengalami pergeseran makna yang
dahulunya adalah alun-alun.28)
Sebagai tempat pengaduan rakyat, alun-alun berfungsi sebagai tempat
curhat dan protesnya masyarakat terhadap sebuah kebijakan pemerintahan dalam
hal ini raja atau istana. Di alun-alun Yogyakarta pada zaman kolonial, tepat
dimana berdirinya wringin kurung (pohon beringin yang dibatasi pagar) jika
seseorang mengalami keberatan atau sebuah kebijakkan maka mereka akan duduk
bersila seharian di sana dengan menggunakan tutup kepala putih dan pakaian
putih. Tata cara ini disebut dengan pepe. Jika raja melihat keberadaan orang
tersebut maka raja akan memerintahkan untuk membawa orang tersebut menghadap
dan mengadukan persoalannya secara langsung.
Dalam buku Tahta Untuk Rakyat dikatakan, “Adanya cara ber-pepe ini
menunjukkan bahwa pada zaman dulu sudah ada forum untuk memperjuangkan hak
asasi manusia sehingga jelas itu bukan barang baru atau barang yang diimpor
dari negara lain”.29)
27)Habraken, N. J. (1998) The Structure of The
Ordinary, Form and Control in The Built Environment, Cambridge:MIT Press.
28)Handinoto (1992), Alun-alun
Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars
September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra.
29)Manik, I. W. Y (2007) Pengaruh Demografi, Gaya Hidup, dan Aktivitas Terhadap Transformasi
Tipo-Morfologi Hunian di Desa Bayung Gede Bali, Tesis Arsitektur, ITB:
tidak diterbitkan.
Bagai
peribahasa “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, maka dapat
kita tafsirkan, berbeda zaman berbeda pula kebudayaannya. Setiap zaman
mengakibatkan perbedaan disana-sini dan zaman modern ikut serta dalam proses
perubahan tersebut. Sementara itu, tradisionalitas sulit mempertahankan
dirinya, alih-alih memadu kasih dengan kemodernan, tradisional justru menjadi
bulan-bulanan dan digempur habis-habisan oleh kemodernan itu sendiri. Zaman yang
serba sakral dan penuh mitos telah sirna, berganti zaman yang tidak memiliki
batasan dan cara pendang yang alakadarnya. Fungsi alun-alun yang dianggap kuno
telah benar-benar ditinggalkan, penataan ruang dan letaknya pun kini sudah
berbeda. Namun demikian, alun-alun di zaman modern tetap memiliki fungsi
tersendiri. Berbeda dengan alun-alun zaman tradisional yang lebih banyak
difungsikan untuk pemerintahan dan ritual keagamaan, alun-alun zaman modern
lebih difungsikan kepada hiburan dan sarana komersial, disamping juga digunakan
sebagai ruang terbuka publik ataupun taman kota.
Handinoto, Staf Pengajar
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen
Petra, mengatakan bahwa “Banyak
alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat olah raga sepak bola, tenis,
basket, ada pula yang sekarang difungsikan sebagai taman kota. Bahkan banyak yang sekarang tidak jelas fungsinya,
karena pusat kotanya sudah bergeser ke lain lokasi. Yang paling tragis lagi ada
alun-alun kota yang diincar investor untuk dibeli karena letaknya yang
strategis di pusat kota”.30)
Fungsi
kegunaan alun-alun seperti yang dikatakan Handinoto ini dapat kita saksikan di
kebanyakan alun-alun yang ada di kota-kota besar pulau jawa. Setiap akhir pekan
misalnya, banyak dari alun-alun tersebut diramaikan oleh masyarakat yang
melakukan kegiatan-kegiatan olah raga seperti voly, basket, senam, tenis
ataupun sekedar lari berkeliling alun-alun. Selain itu, jika dicermati lebih
dalam, maka akan nampak kegiatan para pedagang yang menjajakan berbagai barang
dagangannya. Mereka menjual berbagai kebutuhan untuk para pengunjung dan
30)Handinoto (1992), Alun-alun
Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars
September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra.
turut memainkan perannya
sebagai aktor yang menjalankan fungsi perekonomian di dalam komunitas
alun-alun. Kemudian, bila kita bergeser sedikit dan menyaksikan
bangunan-bangunan yang berada disekeliling alun-alun, maka kita dapat menemui
komunitas ekonomi dalam skala yang lebih besar. Tidak sedikit restoran-restoran
ternama dan mall-mall megah mengelilingi tanah luas yang disebut alun-alun ini,
mereka juga turut memposisikan diri sebagai salah satu pengisi fungsi alun-alun
sebagai sarana komersial, yang berjalan beriringan dengan para pedagang sebagai
aktor yang lebih kecil.
Sebenarnya
banyak kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan alun-alun. Namun, kebanyakan
dari kegiatan-kegiatan itu ditujukan untuk hiburan bagi masyarakat. Pada saat
memperingati hari kemerdekaan Indonesia misalnya, alun-alun digunakan sebagai
tempat penyelenggaraan berbagai lomba guna memperingati hari yang sakral itu.
Selain itu, upacara kemerdekaan pun juga kebanyakan dilakukan di alun alun. Itu
masih belum termasuk konser musik yang sering diadakan dalam beberapa bulan
sekali dan beragam festival dan kegiatan-kegiatan penting lainnya. Meskipun
fungsi alun-alun telah banyak mengalami pergeseran, namun masyarakat cenderung
nyaman dan apatis dengan fenomena tersebut. Mereka tidak memperdulikan budaya
lama yang dibawa oleh leluhur. Bila pergeseran fungsi alun-alun ini tidak
segera ditemukan obatnya, maka alun-alun hanya akan menjadi nama yang memiliki
kekosongan pemaknaan.
BAB
4. PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Bila kita analisis
lebih dalam alun-alun bukanlah hanya sekedar tanah yang luas semata namun lebih
dari itu, alun-alun merupakan suatu kesatuan ruang antara pemerintah,
masyarakat, serta kebudayaan yang menyertainya. Ontologi memberikan kita
pemahaman bahwa alun alun tidak dapat dipisahkan dari bangunan-bangunan
pemerintahan yang mengelilinginya. Sementara itu lebih kompleks lagi, secara
epistemologi telah kita ketahui bagaimana pergeseran alun-alun yang semakin
meresahkan dimana institusi pemerintah menjadi salah satu agen yang memberikan dampak terhadap perkembangan alun-alun melalui
kebijakan-kebijakan yang mereka ambil. Kemudian melalui aksiologi, kita dapat
mengerti nilai kegunaan dari alun-alun itu sendiri, yang kemudian dapat kita
ambil hikmah dan pembelajaran darinya.
4.2
Saran
Saran yang dapat penulis
sampaikan antara lain:
1.
Didorong untuk terbentuknya suatu konsensus budaya
secara nasional menyangkut alun-alun itu sendiri.
2.
Kebijakan pemerintah agar lebih memperhatikan
bangunan-bangunan budaya peninggalan masa lalu, seperti alun-alun.
3.
Meningkatkan kesadaran akan kehadiran alun-alun
sebagai produk budaya warisan leluhur.
.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2013. Filsafat, Ontologi, Aksiologi, Epistimologi
Web.
http://sciencebooth.com/2013/05/28/filsafat-ontologi-aksiologi, diakses 7 Oktober 2014 pukul 09.00.
Basundoro, P. (2009) Dua Kota Tiga Zaman, Surabaya
dan Malang Sejak Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Habraken, N. J. (1998) The Structure of The
Ordinary, Form and Control in The Built Environment, Cambridge:MIT Press.
Handinoto (1992), Alun-alun
Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18/Ars
September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra.
KamusBesar. 2014. Deskripsi
dari Fenomena.
Web. http://www.kamusbesar.com/10894/fenomena, diakses 7 oktober 2014 pada pukul 08.10.
Khairuddin H. 1995, Filsafat Kota Yogyakarta, Yogyakarta:
Liberty, hal 53.
Kunto, H. (1986), Semerbak Bunga di Bandung Raya,
Bandung: Granesia.
Manik, I. W. Y (2007) Pengaruh Demografi, Gaya Hidup, dan Aktivitas Terhadap Transformasi
Tipo-Morfologi Hunian di Desa Bayung Gede Bali, Tesis Arsitektur, ITB: tidak
diterbitkan.
Moerdjoko. (2005) Alun-Alun Ruang Publik Bersejarah
dan Konservasi, Jakarta:Univ Trisakti.
Priyono, B. Herry. 2014. Rakyat dalam Pusaran Globalisasi.
Web.http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php?aid=345&coid=1&caid=24&auid=3,
diakses 7 Oktober 2014 pukul 14.30.
Rapoport, A. 2001, Theory, Culture, and Housing, Journal
of Housing Theory and Society, 17:4,
pp. 145-165.
Rapoport, A. (1983), Development, Culture Change, and
Supportive Design, Habitat International, 7 (5/6), pp. 249-268.
Setiawan, Ebta. 2014, alun-alun.
Web.
http://kbbi.web.id/alun-alun, diakses 30 september 2014 pukul 13.15.
Setiawan, Ebta. 2014, Fenomena.
Web. http://kbbi.web.id/fenomena, diakses 7 oktober 2014
pukul 08.06.
Setiawan, Ebta. 2014, modern.
Web.
http://kbbi.web.id/modern, diakses 7 oktober 2014 pukul 08.16.
Setiawan, Ebta. 2014, tradisional.
Web. http://kbbi.web.id/tradisional, diakses 7 oktober
2014 pukul 08.06.
Sudino, Antariksa. 2014. Pelestarian
Bangunan Kuno Bersejarah di Kota Malang. Web.
http://www.academia.edu/7762320/Pelestarian_Bangunan-Kuno _Bersejarah
_di_Kota_Malang, diakses 7 oktober pukul 09.08
0 komentar:
Posting Komentar