HUBUNGAN
ANTAR LEMBAGA NEGARA
KONFLIK ANTARA
GUBERNUR DAN DPRD DKI JAKARTA
Makalah
Oleh
Anom Gumelar
NIM 140910201054
PROGRAM
STUDI ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN
ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
JEMBER
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
dalam pemerintahan sebuah negara pasti terdapat alat kelengkapan yang dapat membantu dalam urusan
pemerintahan atau kenegaraan. Salah satunya adalah lembaga negara dimana tujuan dibentuknya lembaga-lembaga Negara atau
alat-alat perlengkapan Negara adalah selain untuk menjalankan fungsi
Negara,juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Penyelenggaraan pemerintahan suatu negara
akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh lembaga-lembaga negara yang
saling berhubungan satu sama lain sehingga merupakan satu kesatuan sesuai
dengan kewenangan dan tanggung jawabnya masing-masing. Hubungan diantara lembaga lembaga tersebut juga
diatur dalam undang-undang dasar 1945
seperti hubungan antar DPR, Presiden(eksekutif), DPD, MK.
Telah
dikenal adanya 3 jenis lembaga negara legislatif, eksekutif, dan yudikatif oleh
yang disebut juga teori Trias Politica yang menghendaki adanya pemisahan
kekuasaan antara satu lembaga dengan lembaga Negara yang lain. Sejak reformasi,
mulailah terjadi Amandemen konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia sebanyak empat kali. Perubahan tersebut berdampak terhadap perubahan
ketatanegaraan sekaligus susunan kelembagaan Negara Indonesia. Seiring dengan
adanya amandemen dan pengaruh globalisme menuntut adanya system kenegaraan yang
efisien dan efektif dalam memenuhi pelayanan publik. Atas faktor tersebut
muncullah berbagai lembaga-lembaga Negara baru dengan harapan akan terciptanya bangunan demokrasi yang
benar-benar demokratis. kelembagaan tersebut
dapat berupa dewan, komite, komisi , badan, atau otoritas.
Keseluruhan
dari lembaga Negara tersebut merupakan bagian dari Negara sebagai suatu
organisasi. Dengan berkembangnya
macam-macam lembaga tersebut konsekuensinya, masing-masing memiliki fungsi
tertentu dan saling berhubungan serta terjadi persoalan tumpang tindih
kewenangan diantara lembaga-lemga tersebut sehingga memerlukan pemahaman dan
pengaturan yang dapat mengatur agar berjalan dalam satu system yang tepat.
Dewasa ini setelah adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 kita menganut
antara lain prinsip check and balances. Tetapi kenyataannya, prinsip itu tidak
sepenuhnya di ikuti dalam sistem pemerintahan Indonesia. walaupun hubungan
antar lembaga sudah diatur tapi pada kenyataannya sengketa kewenangan sering
terjadi karena masih abstraknya
kewenangan antar lembaga yang biasanya memiliki fungsi hampir mirip satu
dengan lainnya sehingga menimbulkan konflik. Atau karena memiliki kepentingan
yang berbeda. Konflik antar lembaga negara ini dari dulu sampai sekarang masih
terjadi dan sulit untuk diredam, contoh yang sering terjadi adalah antara
lembaga hukum negara seperti antara KPK DAN POLRI, serta lembaga eksekutif dan
legislatif seperti DPR dengan presiden atau DPRD dengan gubernur. bagaimana
konflik sengketa antar lembaga negara
tersebut bisa terjadi ? Karena itu, dari uraian diatas makalah ini akan membahas
dan mengambil study kasus tentang
konflik hubungan antara lembaga negara yaitu antara Gubernur DKI Jakarta (ahok)
dengan DPRD Jakarta.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa yang terjadi
antara Gubernur Jakarta Ahok dengan DPRD Jakarta ?
1.2.2
Mengapa konflik
antara Gubernur Ahok dan DPRD tersebut dapat terjadi ?
1.2.3
Dampak apa yang dapat
terjadi akibat suatu konflik kewenangan tersebut ?
1.2.4
Bagaimana solusi yang
dapat ditempuh dalam mengatasi permasalahan tersebut ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui apa
yang terjadi antara Gubernur Ahok dengan DPRD Jakarta?
1.3.2
Untuk mengetahui
mengapa konflik tersebut dapat terjadi ?
1.3.3
Untuk mengetahui
dampak yang terjadi akibat konflik kewenangan tersebut ?
1.3.4
Untuk mengetahui
solusi yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lembaga Negara Republik Indonesia
2.1.1 Lembaga Negara Sebelum Amamdemen
UUD 1945 sebelum amandemen tidak mengenal istilah
lembaga/lembagam negara. UUD 1945 secara konsisten menggunakan istilah badan.
Konstitusi RIS dan UUDS 1950 menggunakan istilah alat perlengkapan negara.
Pasal 44 UUDS 1950 menyebutkan bahwa alat perlengkapan negara ialah:
a. Presiden
dan Wakil Presiden.
b. Menteri-menteri.
c. Dewan
Perwakilan Rakyat.
d. Mahkamah
Agung.
e. Dewan
Pengawas Keuangan.
Sementara
Konstitusi RIS menyebutkan bahwa alat-alat perlengkapan federal Republik
Indonesia
Serikat ialah:
a. Presiden.
b. Menteri-menteri.
c. Senat.
d. Dewan
Perwakilan Rakyat.
e. Mahkamah
Agung Indonesia.
f. Dewan
Pengawas Keuangan.
Dengan demikian, istilah lembaga negara sebenarnya
selain tidak terdapat di dalam UUD 1945, juga tidak terdapat dalam Konstitusi
RIS dan UUDS. Istilah lembaga negara pertama kali muncul di dalam Ketetapan
MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-Prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam
Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-Lembaga
Permusyawaratan/Perwakilan.
Ketetapan MPR
No. VI/MPR/1973 jo. Ketetapan MPR No. III/MPR/1978, MPR merupakan Lembaga
Tertinggi Negara, sedangkan Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA merupakan
Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
2.1.2 Lembaga Negara Setelah Amandemen
Setelah perubahan UUD 1945, UUD Negara RI Tahun 1945
menyebutkan banyak lembaga/badan dibandingkan dengan badan-badan yang disebut
di dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Penyebutan tersebut baik dalam satu
nomenklatur yang eksplisit berupa nama lembaga yang bersangkutan maupun yang
tanpa nomenklatur yang eksplisit. Beberapa lembaga yang disebutkan dengan
nomenklatur adalah: MPR, DPR, DPD, DPRD, Presiden, Wakil Presiden, Menteri,
Gubernur, Walikota, Bupati, TNI, POLRI, MA, MK, KY, BPK. Sementara
lembaga/badan yang nomenklaturnya tidak disebutkan secara eksplisit KPU, dan
bank sentral.
MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, BPK, Komisi
Yudisial, KPU, dan Pemerintahan Daerah adalah lembaga/organ negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD. Dan Mahkamah Konstitusi berhak untuk
menyelesaikan sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
undang-undang dasar. Format kelembagaan negara RI meliputi: MPR, DPR, dan DPD
sebagai Parlemen Indonesia; Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai
pemegang kekuasaan kehakiman; dan Presiden dan Wakil Presiden sebagai kepala
pemerintahan eksekutif. Adapun keberadaan BPK dan Komisi Yudisial dapat dikatakan
tidak berdiri sendiri. Keberadaan masing-masing beserta tugas-tugas dan
kewenangannya haruslah dikaitkan dan terkait dengan tugas-tugas dan kewenangan
lembaga yang menjadi mitra kerjanya, yaitu BPK terkait dengan DPR dan DPD,
sedangkan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
di dalam organisasi negara modern terjadi perkembangan yang sangat pesat.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi, lembaga-lembaga dengan variasi
fungsi-fungsi semakin tumbuh karena dirasakan pentingnya adanya suatu kekhususan.
Penetapan lembaga lembaga negara Republik Indonesia berdasarkan Perubahan UUD
1945 dilakukan dengan cara:
a. Mengubah
kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga negara lainnya;
b. Mempertahankan
kedudukan lembaga-lembaga negara yang lama (Presiden, DPR, BPK, MA)
c. Menambahkan
lembaga-lembaga negara baru yang berdasarkan rumpun kekuasaan legislatif (DPD)
dan rumpun kekuasaan yudikatif (Mahkamah Konstitusi).
Dalam
kajian hubungan antarlembaga negara berdasarkan UUD 1945 Pasca Amandemen, maka
lembaga negara yang dimaksud dibatasi pada MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan
BPK.
2.2 Gubernur (Kepala Daerah)
Gubernur, adalah jabatan politik di Indonesia. Gubernur merupakan kepala daerah untuk
wilayah provinsi. Kata "gubernur" bisa berasal dari
bahasa Portugis "governador", bahasa
Spanyol "gobernador",
atau bahasa Belanda "gouverneur". Bentuk
Belanda ini mirip dengan bentuk bahasa
Perancis dan arti
harafiahnya adalah "pemimpin", "penguasa", atau "yang
memerintah".
Gubernur dipilih bersama wakilnya dalam satu paket
pasangan yang dipilih secara langsung oleh rakyat di provinsi setempat untuk
masa jabatan 5 tahun, sehingga dalam hal ini gubernur bertanggung jawab kepada rakyat.
gubernur juga berkedudukan sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah
provinsi bersangkutan, sehingga dalam hal ini, gubernur bertanggung jawab
kepada presiden. Dan kewenangan gubernur diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 dan
PP No 19 Tahun 2010. Gubernur bukanlah atasan bupati atau wali
kota, namun hanya sebatas membina, mengawasi, dan
mengkoordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Dalam kedudukannya sebagai Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah DKI Jakarta dapat mengusulkan kepada
Pemerintah penambahan jumlah dinas, lembaga teknis provinsi serta dinas,
dan/atau lembaga teknis daerah baru sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
anggaran keuangan daerah. Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah
dan Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta yang diberikan kekhususan tugas, hak,
kewajiban, dan tanggung jawab dalam kedudukan DKI Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dibantu oleh sebanyak-banyaknya 4 (empat)
orang Deputi Gubernur sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah
yang bertanggung jawab kepada Gubernur
2.2.1
Tugas
dan wewenang Gubernur
1.
pembinaan
dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
2.
koordinasi
penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota;
3.
koordinasi
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi
dan kabupaten/kota
2.3
DPRD Provinsi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi (disingkat DPRD
provinsi) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi. DPRD provinsi terdiri
atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui
pemilihan umum. DPRD provinsi mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di provinsi. Di Provinsi Aceh DPRD provinsi disebut Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang diatur dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006.
Anggota DPRD provinsi berjumlah paling sedikit 35
(tiga puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus) orang dengan masa
jabatan selama 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD provinsi yang
baru mengucapkan sumpah/janji. Keanggotaan DPRD provinsi diresmikan dengan
keputusan Menteri Dalam Negeri.Sedangkan jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diatur dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 yakni
paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk
kategori jumlah penduduk DKI Jakarta sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang. DPRD Provinsi DKI Jakarta memberikan
pertimbangan terhadap calon Wali Kota/Bupati yang diajukan oleh Gubernur
2.3.1
Tugas
dan wewenang Gubernur
DPRD provinsi mempunyai wewenang dan
tugas:
1.
membentuk
peraturan daerah provinsi bersama gubernur.
2.
membahas
dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran
pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur.
3.
melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan
belanja daerah provinsi.
4.
mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden
melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau
pemberhentian.
5.
memilih
wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur;
6.
memberikan
pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana
perjanjian internasional di daerah.
7.
memberikan
persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh
pemerintah daerah provinsi.
8.
meminta
laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah provinsi.
9.
memberikan
persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak
ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
10.
mengupayakan
terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
11. melaksanakan wewenang dan tugas lain
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.4 Konflik
Pengertian
Konflik menurut Robbins, Konflik adalah suatu proses
yang dimulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah memengaruhi
secara negatif atau akan segera memengaruhi secara negatif pihak lain.
Sedangkan menurut Alabaness, Pengertian Konflik adalah kondisi yang
dipersepsikan ada di antara pihak-pihak atau lebih merasakan adanya
ketidaksesuaian antara tujuan dan peluang untuk mencampuri usaha pencapaian
tujuan pihak lain.
Dari kedua
pengertian konflik yang disampaikan pakar di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa Konflik adalah proses yang
dinamis dan keberadaannya lebih banyak menyangkut persepsi dari orang atau
pihak yang mengalami dan merasakannya. Dengan demikian jika suatu keadaan tidak
dirasakan sebagai konflik, maka pada dasarnya konflik tersebut tidak ada dan
begitu juga sebaliknya.
2.4.1 Faktor penyebab konflik
Faktor penyebab konflik ada bermacam-macam. Beberapa faktor penyebab konflik, yaitu :
1. Saling
bergantungan. Saling bergantungan dalam pekerjaan terjadi jika dua kelompok
organisasi atau lebih saling membutuhkan satu sama lain guna menyelesaikan
tugas.
2. perbedaan
tujuan. Perbedaan tujuan yang terdapat diantara satu bagian dengan bagian yang
lain yang tidak sepaham bisa menjadi faktor penyebab munculnya konflik.
3. perbedaan
persepsi atau pendapat. Dalam hal menghadapi suatu masalah, perbedaan persepsi
yang ditimbulkan inilah yang menyebabkan munculnya konflik.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Hubungan antar Lembaga Negara
Dengan
adanya amandemen UUD 1945 semakin berkembangnya lembaga-lembaga negara di
indonesia. Tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara atau
alat-alat kelengkapan negara adalah selain menjalankan fungsi negara, juga
untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.
Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses
yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi
negara dengan prinsip check and balance antara tiga
fungsi pemerintahan, fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal tersebut
agar proses sistem administrasi negara di indonesia berjalan dengan baik. sehingga
terjadi satu kesatuan dalam mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan
negara sesuai dengan kedudukan, peran, kewenangan dan tanggung jawabnya
masing-masing.
Sangat penting untuk mempelajari
hubungan antar lembaga negara di Indonesia karena hal ini menyangkut bagaimana
kinerja dari kegiatan pemerintahan Kemudian bagaimanakah hubungan antar lembaga
negara di indonesia saat ini. Hubungan antar lembaga negara Indonesia diatur
dalam UUD 1945, sebelum perubahan terdapat enam lembaga, yaitu MPR sebagai
lembaga tertinggi negara, serta DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA ebagai lembaga
tinggi negara. Namun setelah mengalami perubahan UUD 1945 (Amandemen) sinyatakan
bahwa lembaga negara terdiri atas MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, Presiden, dan KY tanpa
mengenal istilah lembaga tinggi negara atau tertinggi negara. Berikut ini
penjelasan hubungan antara Lembaga Negara sesuai UUD 1945,
1.
MPR dengan DPR,
DPD
Keberadaan MPR
dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi
di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD
menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena
keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR merupakan
representasi rakyat melalui partai politik, sedangkan unsur anggota DPD
merupakan representasi rakyat dari daerah untuk memperjuangkan kepentingan
daerah. Sebagai lembaga, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD,
memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan
Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden,
dan kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya bisa
dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR.
2.
DPR dengan
Presiden, DPD, dan MK.
Berdasarkan UUD
NRI tahun 1945, kini MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Perbedaan
keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya, anggota DPR untuk
mewakili rakyat sedangkan anggota DPD untuk mewakili daerah. Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Selanjutnya untuk menguatkan posisi DPR sebagai pemegang
kekuasaan legislatif, maka pada Pasal 20 ayat (5) ditegaskan bahwa dalam hal
RUU yang disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden, dalam waktu 30 hari
semenjak RUU tersebut disetujui, secara otomatis sah menjadi UU dan wajib
diundangkan. Dalam hubungan
DPR dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang
berkaitan dengan bidang tertentu. DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah (Lihat Pasal 22 D). Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi,
terdapat hubungan tata kerja yaitu dalam hal permintaan DPR kepada MK untuk
memeriksa pendapat DPR mengenai dugaan bahwa Presiden bersalah. Di samping itu
terdapat hubungan tata kerja lain, misalnya dalam hal apabila ada sengketa
dengan lembaga negara lainnya, dan proses pengajuan pendapat DPR yang
menyatakan bahwa Presiden bersalah untuk diperiksa oleh MK.
3.
DPD dengan BPK
Berdasarkan
ketentuan UUD NRI 1945, DPD menerima hasil pemeriksaan BPK dan memberikan
pertimbangan untuk pemilihan anggota BPK. Ketentuan ini memberikan hak kepada
DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK sebagai bahan dalam rangka
melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk turut menentukan
keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK. Di samping itu, laporan BPK
akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan berkenaan
dengan RUU APBN.
4.
MA dengan
lembaga negara lainnya
Pasal 24 ayat
(2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut menyatakan puncak kekuasaan kehakiman dan kedaulatan
hukum ada pada MA dan MK. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang mandiri dan
harus bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan yang lain. Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, MA mengajukan 3 (tiga) orang
hakim konstitusi untuk ditetapkan sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.
5.
Mahkamah
Konstitusi dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA, KY
Selanjutnya,
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang Mahkamah
Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara, maka
apabila MPR bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki
kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan
oleh Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1)
dan (2) UUD NRI tahun 1945 adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu, MK juga
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Dengan kewenangan tersebut, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata kerja
dengan semua lembaga negara yaitu apabila terdapat sengketa antar lembaga
negara atau apabila terjadi proses judicial review yang diajukan oleh lembaga
negara pada MK.
6.
BPK dengan DPR
dan DPD
BPK merupakan
lembaga yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
tentang keuangan negara dan hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR,
DPD, dan DPRD. Dengan
pengaturan BPK dalam UUD, terdapat perkembangan yaitu menyangkut perubahan
bentuk organisasinya secara struktural dan perluasan jangkauan tugas
pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini pemeriksaan BPK juga meliputi
pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan harus menyerahkan hasilnya itu selain
pada DPR juga pada DPD dan DPRD. Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR dan DPD
adalah dalam hal proses pemilihan anggota BPK.
7.
Komisi Yudisial
dengan MA
Pasal 24A ayat
(3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi
Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial
tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Ketentuan ini menjelaskan bahwa
jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan
ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam
hubungannya dengan MA, tugas KY hanya dikaitkan dengan fungsi pengusulan
pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya,
seperti hakim MK tidak dikaitkan dengan KY.
Walaupun pada dasarnya hubungan
tersebut ditujukan ke arah kerja sama yang positif. Tapi pada kenyataannya
tidak sedikit konflik antar lembaga negara yang terjadi di Indonesia. Konflik
kepentingan, konflik kewenangan, konflik kedudukan, dll.
3.2
Konflik antara Gubernur Ahok dengan DPRD Jakarta
Tahun
antara 2014-2015 adalah tahun yang penuh dengan kejadian ironis dimana banyak
lembaga negara yang saling berseteru antara penegak hukum antara eksekutif dan
legislatif dan banyak lagi. Konflik lembaga pusat Yang paling menita perhatian
adalah konflik KPK-POLRI, sedangkan di daerah adalah konflik di ibukota negara
antara Gubernur jakarta dan DPRD Jakarta terkait dengan APBD tahun 2015. DPRD sebagai
lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat
Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif,
sedangkan Eksekutif atau Gbernur adalah lembaga yang berwenang untuk
menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka antara pihak
legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama.
Tapi dalam
setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan, begitu
juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif.
Pada
2015, terjadi konflik antara DPRD DKI dengan Gubeernur ahok . DPRD DKI
menuding, Ahok menyalahi prosedur karena melakukan tindakan inkonstitusional
dengan tidak mengirim APBD 2015 hasil
pembahasan bersama yang disahkan dalam Paripurna pada 27 Januari ke Menteri
Dalam Negeri. Tetapi mengajukan versi APBD yang
ditandatanganinya sendiri melalui
Peraturan Gubernur (Pergub). Dimana
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah. Raperda APBD harus disetujui bersama gubernur dan DPRD dan disampaikan
ke Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Alasan Ahok melakukan
hal tersebut dalam APBD itu banyak
anggaran siluman yaitu pembelian UPS dengan nilai fantastis mencapai
12 trilun rupiah. Ahok menyatakan bahwa dirinya
melakukan terobosan pengajuan APBD melalui e-budgeting untuk menghindari
adanya permainan oknum mengotak-atik APBD. Karena ulah gubernur
Ahok tersebut DPRD pun sepakat menggunakan hak angketnya untuk kasus ini. Kasus inipun
berbuntut panjang dan berlarut larut.
3.3
Penyebab Terjadinya Konflik antara Gubernur Ahok
dengan DPRD Jakarta
Penyebab
permasalahan Konflik dua lembaga yaitu eksekutif dan legislatif di ibukota
negara ini adalah dimana kurang solidnya kedua lembaga tersebut sehingga
menimbulkan persepsi yang berbeda dan keegoisan dari kedua lembaga dimana
mereka hanya saling mementingkan kepentingannya dan meras benar sendiri.
Kronologis
konflik ini adalah saat gubernur Ahok memberikan draft apbd 2015 kepada
mendagri dimana hanya ada tandatanggannya tanpa tanda tangan dari ketua DPRD
atau bukan hasil pembahasan bersama dengan DPRD DKI. Gubernur sendiri beralasan
bahwa anggaran dana sebesar 12, 1 triliun untuk pengadaan UPS yang diajukan DPRD terlalu berlebihan dan
menganggapnya sebagai dana siluman dalam
APBD, sehingga Ahok menolaknya. Ahok
beranggapan anggaran sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk
membangun rrusun bagi masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai. Bukan malah
digunakan untuk pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS). Ahok mengaku rela melepas jabatannya sebagai Gubernur
daripada memasukkan anggaran Rp 12,1 triliun ke APBD. Dan akhirnya Ahok memberikan APBD 2015 DKI
Jakarta hasil pergub ke mendagri untuk dievaluasi dan melaporakan anggota DPRD
DKI ke KPK karena dianggap melakukan korupsi dengan anggaran siluman UPS.
Hal tersebut menyebabkan DPRD naik pitam karena DPRD
beranggapan apa yang dilakukan oleh Gubernur telah melanggar aturan atau
inkonstitusional karena menyalahi prosedur penyerahan APBD kepada mendagri
untuk dievaluasi. Dimana Dalam Peraturan Pemerintah (PP)
No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Raperda APBD harus
disetujui bersama gubernur dan DPRD dan disampaikan ke Menteri Dalam Negeri
untuk dievaluasi. Sedangkan Berdasarkan UU. No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPRD dan DPD (MD3), DPRD memiliki wewenang dan tugas untuk membahas dan
memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan
dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur. Selain itu, DPRD juga
berwenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah
dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi. Karena itu DPRD mengajukan
hak angket yaitu hak penyelidikan terhadap suatu kebijakan yang mungkin
melanggar perundang-undangan yang dapat berakibat pada pemakzulan pada
Gubernur. Selain itu DPRD Jakarta tidak mau menerbitkan Perda APBD 2015, yang
menyebabkan Ahok geram. Karna adanya ketidak transparan dana APBD yang ada
antara DPRD dan Gubernur saling lempar melempar kesalahan saling tidak
mau mengalah.
3.4
Dampak yang Terjadi dengan Adanya Konflik Lembaga
Negara
DKI Jakarta adalah
ibukota negara sehingga menjadi barometer pembangunan nasional, karena itulah
harus memberikan contoh yang baik dalam penyusunan APBD bagi daerah-daerah lain
di Indonesia. Jangan sampai, hubungan yang tidak baik antara Gubernur dan DPRD menjadi
preseden yang tidak baik bagi daerah dan memberikan dampak negatif bagi
daerahnya atau daerah lain dimana dampak yang paling besar dapat merugikan
masyarakat /rakyat DKI jakarta. Jika
masalah tersebut tidak kunjung selesai akan berdampak pada rencana pembangunan
yang yang akan tersendat, belum bisanya mereka untuk langsung bekerja
sehingga anggaran mampu diserap untuk
kebutuhan masyarakat.
tiga kerugian yang
dapat terjadi karena konflik tersebut, pertama adalah masyarakat Jakarta akan
terancam pelayanan publiknya. Terutama pada anggaran kesehatan dan pendidikan,
yang terancam terlambat terealisasi, yakni anggaran Kartu Jakarta Sehat 2015
Rp1,3 triliun, Kartu Jakarta Pintar Rp2,2 triliun, dan dana Bantuan Operasional
Sekolah Rp2,51 triliun. Anggaran itu terancam terlambat turun. Akibatnya jatuh
tempo penarikan Puskesmas, rumah sakit, dan sekolah menjadi terhambat.
Dikhawatirkan, akan terjadi konflik dan masalah antara birokrasi dan masyarakat.
Kerugian kedua
masyarakat Jakarta adalah proyek nasional terancam molor. Sebab, APBD DKI
Jakarta belum juga disahkan. "Proyek MRT (Mass Rapit Transit) dengan
anggaran 2014 senilai Rp4,55 triliun terancam mangkrak dan terhambat
pembangunannya.
Kerugian ketiga,
kinerja Pemprov DKI tidak akan bisa maksimal. Kalau sudah begitu, lanjut dia,
maka akan berdampak pada pelayanan yang tidak maksimal pula.
3.5
Solusi yang Dapat Ditempuh untuk Menyelesaikan Konflik
antar lembaga
3.5.1
penyelesaian sengketa
wewenang melalui mahkamah konstitusi
Secara formal, Indonesia setelah amandemen UUD 1945,
telah mengatur mekanisme penyesaian
sengketa kewenangan antar lembaga, yaitu
melalui Mahkamah Konstitusi. Dalam UUD 1945 hasil perubahan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah menyelesaikan sengketa kewenangan
antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Persoalan selanjutnya adalah
dalam ketentuan UUD 1945 hasil perubahan
sama sekali tidak terdapat ketentuan hukum yang mengatur tentang definisi “lembaga Negara”,
sehingga banyak pemikir hukum Indonesia
melakukan penafsiran sendiri-sendiri dalam mendefinisikan dan mengklasifikasikan konsep lembaiga
Negara. Demikian pula dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, tidak menjelaskan
dan merinci lembaga Negara mana yang menjadi pihak di Mahkamah Konstitusi, dan memberi
batasan tambahan yang tidak diatur dalam
UUD 1945, yaitu dinyatakan bahwa “ Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa antar
lembaga Negara”.Salah satu petunjuk
yang
diberikan UUD 1945 sebagaimana ditentukan pada pasal 24 C ayat 1 yang berbunyi
: salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili dan
memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945. Adapun ada beberapa lembaga Negara yang kewenanganya diatur oleh
UUD 1945
antara lain : MPR, Presiden, Dewan
Pertimbangan Presiden, Kementrian Negara, Pemerintah Daerah, (Pasal 18 ayat 2),
DPRD Prov, DPRD Kab/Kota, DPR, DPD, KPU, BPK, MA, KY, TNI, POLRI
3.5.2
penyelesaian konflik
Gubernur Ahok dan DPRD Jakarta
Dalam kasus ini sulit untuk di
selesaikan karna semua ingin di anggap benar tetapi apa bila ada kerjasama yang
baik bisa di lakukan beberapa hal untuk mengakhirinya. Ada banyak cara untuk
menyelesaikannya, pertama, Menteri Dalam Negeri harus
segera memfasilitasi mediasi antara Gubernur DKI bersama DPRD untuk mencari
titik temu pengesahan APBD 2015, walau ternyata belum berhasil (Accomodating). Kedua, Penggunaan hak angket oleh DPRD
DKI terhadap Gubernur DKI jangan dianggap sebagai langkah untuk memberhentikan Gubernur
DKI, tetapi lebih kepada mencari jalan keluar dari pada terhambatnya komunikasi
Gubernur dan DPRD selama ini. Ketiga, jika dalam perjalanannya baik Gubernur
atau DPRD menemukan penyimpangan penggunaan anggaran yang memiliki implikasi
hukum, sebaiknya diselesaikan dengan jalur hukum dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada. Sedangkan keempat, masing-masing pihak sebaiknya
bisa menahan diri dalam mengeluarkan statemen atau pernyataan yang tidak
produktif, sehingga akan semakin menambah kekisruhan yang sudah ada. kelima melalui compromising atau berkompromi, konflik ahok dengan DPRD DKI Jakarta
bisa saja diselesaikan dengan jalan menempuh cara compromising untuk meredakan
ketegangan demi kepentingan umum atau rakyat DKI Jakarta. Gubernur dan
DPRD sebaiknya meningkatkan komunikasi secara intensif sehingga bisa meredam
isu-isu yang akan menghambat proses pembangunan yang sedang dijalankan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Lembaga negara adalah alat kelengkapan yang dapat membantu dalam urusan
pemerintahan atau kenegaraan dimana tujuan
lembaga negara adalah menjalankan fungsi
Negara, fungsi pemerintahan secara aktual. Penyelenggaraan pemerintahan suatu negara akan berjalan dengan baik
apabila didukung oleh lembaga-lembaga negara yang saling berhubungan satu sama
lain. lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan
proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan
fungsi negara dengan prinsip check and
balance sehingga terjadi satu kesatuan dalam mewujudkan
nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan negara sesuai dengan kedudukan, peran,
kewenangan dan tanggung jawabnya masing-masing. Tapi seiring berjalannya waktu
terjadi gesekan antara lembaga tersebut sehingga terjadi konflik. Contohnya
konflik antara Gubernur Jakarta Ahok dengan DPRD Jakarta terkait APBD 2015,
yang mana itu disebabkan tidak adanya komunikasi yang baik antara mereka dalam
merancang apbd 2015. Konflik ini berdampak pada kerugian masyarakat karena terancam
pelayanan publiknya, rencana pembangunan yang akan tersendat, kinerja Pemprov DKI
tidak akan bisa maksimal.
4.2 Saran
seharusnya
lembaga-lembaga negara saling berkerja sama dengan baik dalam melasanakan roda
pemerintahan. Terutama antara lembaga eksekutif dan legislatif dimana kebijakan
suatu pemerintahan terletak pada dua lembaga tersebut yang akan mengarahkan
bagaimana tujuan daerah/negara yang akan ditempuh. Karena fungsi utama lembaga
negara sebagai alat kelengkapan negara yaitu membantu dalam menjalankan roda
pemerintahan tetap baik. dengan itu pemerintahan dapat berjalan semsestinya dan
tidak merugikan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
http://fhukum.unpatti.ac.id
/download/jurnal-paper/konstitusi/Jurnal Konsitusi Vol III No 1 Juni 2011/Hendrik Salmon -Analisis Yuridis
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam.pdf, diakses pada hari Rabu tanggal 06
April 2016
http://www.tu.bphn.go.id/substantif/Data/ISI
KEGIATAN TAHUN 2005/24Pengkajian HUB.
ANTAR LEMBAGA NEGARA.pdf, diakses pada hari Kamis tanggal 06 April
2016
http://komunitasgurupkn.blogspot.co.id/2014/08/hubungan-antar-lembaga-negara-sesuai.html,
diakses pada hari Rabu tanggal 06 April 2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Gubernur,
diakses pada hari Kamis tanggal 07 April 2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Daerah_Provinsi,
diakses pada hari Kamis tanggal 07 April 2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Provinsi_Daerah_Khusus_Ibu_Kota_Jakarta,
diakses pada hari Kamis tanggal 07 April 2016
http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-konflik-faktor-penyebabnya.html#_,
diakses pada hari Kamis tanggal 07 April 2016
http://lsi.co.id/lsi/2015/03/10/ahok-vs-dprd/,
diakses pada hari Kamis tanggal 07 April 2016
DOWNLOAD di sini
DOWNLOAD di sini
0 komentar:
Posting Komentar